Mungkin orang bijak Tiongkok kuno yang paling terkenal, Konfusius mengabdikan hidupnya untuk menghidupkan kembali dan mentransmisikan nilai-nilai abadi untuk memandu perilaku manusia.
Dia melakukan perjalanan ke banyak negara bagian yang membentuk Tiongkok pada zamannya, berharap untuk menyelaraskan keluarga dan masyarakat melalui moralitas dan kultivasi diri.
Walaupun ajaran Konfusius sering diabaikan dan bahkan ditekan, kebijaksanaannya diturunkan oleh ribuan muridnya, dan membentuk budaya Tiongkok dan negara tetangganya.
Gagasan Konfusius, termasuk tatanan antar generasi, hubungan keluarga yang baik, dan Doktrin Tengah, tetap menjadi inti peradaban Asia Timur selama ribuan tahun, memberikan stabilitas dan komunitas bagi masyarakat kuno ini.
Konfusius sendiri adalah pembelajar sekaligus guru, tetap rendah hati dan berpikiran terbuka sepanjang hidupnya. Pencariannya untuk memperbaiki dunia yang rusak disertai dengan pengejaran terus-menerus akan peningkatan spiritual, yang diperoleh dari pertemuannya yang singkat namun menentukan dengan Lao Zi, orang bijak Taoisme yang legendaris.
Putra yang Disayang
Dikenal dengan hormat dalam bahasa Tionghoa sebagai Kong Fuzi atau Kong Zi, yang berarti “Guru Kong”, Konfusius lahir dengan nama Kong Qiu di negara bagian Lu, bagian dari Provinsi Shandong saat ini di Tiongkok timur. Namanya yang dikenal sebagai “Konfusius” di negara-negara Barat, adalah terjemahan Latin dari sebutan kehormatan di Tiongkok tersebut.
Zaman di mana Konfusius hidup adalah saat salah satu era perselisihan antar kekuatan kepemimpinan. Ia lahir pada 28 September 551 SM, pada akhir masa Periode Musim Semi dan Musim Gugur (770 SM – 481 SM). Tiongkok saat itu diperintah oleh kerajaan Zhou, tetapi otoritas pusat telah melemah hingga negara-negara feodal bertindak seperti negara merdeka, berperang satu sama lain dalam mengejar kekuasaan politik.
Konfusius tidak datang ke dunia dengan mudah. Ayahnya Kong He, juga disebut Shuliang He, telah berusia 72 tahun saat ia lahir. Meskipun cendekiawan dan perwira militer itu telah memiliki sembilan anak dari istri utamanya Shi, semuanya adalah perempuan dan tidak dapat melanjutkan garis keluarga Kong.
Sebagai upaya terakhirnya untuk mendapatkan anak laki-laki, Kong yang sudah tua meyakinkan kepala keluarga Yan untuk mengizinkannya menikahi salah satu putrinya (Nyonya Shi telah meninggal pada saat itu).
Anak bungsu dari tiga putri keluarga Yan, Yan Zhengzai, akhirnya menjadi istri Kong He. Khawatir dia tidak akan bisa hamil tepat waktu karena usia suaminya, Yan pergi ke Gunung Ni, berdoa kepada dewa gunung untuk memberkati dia dengan seorang putra. Kesalehannya dihargai, dan dia mengandung Kong Qiu.
Kong tua meninggal ketika Konfusius baru berusia tiga tahun. Ibunya yang menjanda membesarkannya dalam kondisi kemiskinan yang parah. Karena Yan berasal dari keluarga terpelajar, dia mewariskan kepada Konfusius apa yang dia ketahui, menabur benih aspirasi ilmu pertama dalam dirinya. Namun, Yan tidak hidup cukup lama untuk melihat pria hebat yang akan menjadi Konfusius, karena hidupnya berakhir ketika dia berusia 33 tahun dan putranya 17 tahun.
Kong Qiu memastikan bahwa ibunya dimakamkan di kuburan leluhur keluarganya, dan memulai misinya untuk memperbaiki keadaan dunia. Periode Musim Semi dan Musim Gugur adalah masa ketika berbagai aliran pemikiran bersaing untuk mendapatkan pengaruh, dengan banyak pemikir hebat menawarkan solusi untuk kekacauan yang merajalela.
Kelahirannya sendiri merupakan keberuntungan yang diperoleh dengan susah payah oleh ayahnya yang tua dan ibunya yang setia. Kong Qiu menghargai upaya orang tuanya. Dia percaya bahwa akar dari semua keharmonisan sosial adalah keharmonisan dalam keluarga, sesuatu yang dapat dicapai melalui xiao, atau berbakti.
Mengembara di Negara Bagian Zhou
Konfusius menyesalkan melemahnya kerajaan Zhou, yang telah berfungsi berdasarkan sistem kehormatan yang disepakati bersama antara keluarga kerajaan dan bangsawan setempat. Dia percaya bahwa masalah kerajaan terletak pada hilangnya perilaku moral dan perilaku ritual yang menjadi ciri periode awal pemerintahan Zhou.
Dia sangat sadar bahwa perilaku moral harus dimulai dengan sikap individu, faktor penting di dalamnya adalah berbakti. Seperti yang kemudian dikatakan Konfusius kepada salah satu muridnya yang terkemuka:
“Untuk membangun karakter kita dan mempraktikkan Jalan, dengan demikian mewariskan nama baik kita kepada generasi mendatang dan memuliakan ayah dan ibu kita, ini adalah pencapaian tertinggi dalam berbakti.”
Pada usia 19 tahun, Kong Qiu menikah dengan Lady Qiguan. Memperoleh seorang putra Kong Li dan seorang putri.
Di Tiongkok feodal, ada beberapa kasta. Keluarga Konfusius termasuk dalam kasta shi atau sarjana-pejuang, agak mirip dengan samurai Jepang di kemudian hari. Shi juga menjabat sebagai pejabat pemerintah.
Seperti ayahnya, Konfusius menjadi seorang pejabat setelah mempelajari Enam Seni Tatacara, musik, memanah, mengemudikan kereta, kaligrafi, dan matematika. Pemuda itu memegang berbagai posisi pemerintahan, tetapi kecewa dengan korupsi bangsawan Negara Bagian Lu yang dia layani. Terkadang, konflik dalam kelompok membuat Kong Qiu dan yang lainnya di kasta shi menganggur.
Namun, karena para penguasa feodal mengutamakan gengsi dan kekuasaan, mereka melihat pentingnya mempertahankan orang-orang terpelajar di sisi mereka. Penguasaan tradisi aristokrat dapat memungkinkan penguasa daerah untuk mengadopsi ritual istana Zhou dan lembaga lainnya, yang selain menjaga sisa-sisa tatanan kerajaan juga berguna dalam diplomasi dan intrik politik.
Muak dengan penyelewengan yang dia lihat di tanah kelahirannya, Konfusius akhirnya meninggalkan jabatannya dan meninggalkan Negara Bagian Lu, memulai perjalanan melintasi Tiongkok untuk memperkaya pengetahuannya dan menyebarkan pemikirannya.
Konfusius mencari pendengar dari penguasa daerah, berharap mereka akan mengikuti nasihat moralnya. Dia juga menganjurkan pendidikan universal tanpa memandang kelas sosial, percaya bahwa siapa pun dengan bakat yang tepat dapat memperoleh manfaat dari pendidikan. Konfusius mengajar ribuan siswa selama hidupnya.
Ketika Konfusius memperoleh reputasi dan pengikut, banyak yang menyetujui tujuannya untuk memulihkan tata cara Zhou dan pemerintahan nasional yang bersandar pada kehormatan daripada peraturan, tetapi meragukan peluang keberhasilannya.
Misalnya, ketika seorang murid Konfusius memasuki sebuah kota dan menyebutkan nama gurunya, bangsawan setempat berkata, “itulah orang yang bersikeras melakukan apa yang dia sendiri tahu tidak dapat dilakukan”.
Memang, beberapa bangsawan yang terlibat dengan Konfusius dengan tulus tertarik untuk memulihkan nilai-nilai yang pernah membawa kekuatan dan kemakmuran Dinasti Zhou. Dalam beberapa dekade setelah kematian Konfusius, perselisihan antara negara-negara feodal semakin meningkat dan berubah menjadi perang total. Periode Negara Berperang tidak akan berakhir sampai penyatuan Tiongkok oleh Kaisar Pertama pada tahun 221 SM.
Tetap saja, Konfusius tetap bersemangat dan menghargai kesempatan yang dimilikinya untuk berbagi pengetahuan dan belajar dari orang lain.
Salah satu kalimatnya yang terkenal berbunyi, “Dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang, saya pasti dapat menemukan guru diantara mereka. Saya mengambil apa yang mereka lakukan dengan benar dan mengikuti teladan mereka; Saya melihat apa yang mereka lakukan itu salah, dan memperbaiki kesalahan itu [dalam diri saya].”
Ajaran Moral untuk Kehidupan Sekuler
Sementara para elit ragu ragu tentang ajaran Konfusius, banyak orang biasa menemukan nilai yang tinggi dalam pelajarannya. Konfusius mengajar sekitar 3.000 siswa.
Konfusius percaya bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan individu-individu berbudi luhur yang akan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tradisional dan standar moral. Mengikuti cita-cita manusia unggul yang belajar demi belajar dan bertindak benar demi kebenaran, Konfusius membangun sistem perilaku yang dipandu oleh prinsip-prinsip pengembangan moral pribadi.
Inti dari ajarannya adalah Tiga Ikatan Mendasar dan Lima Kebajikan Konstan (Sangang Wucháng). Filsuf itu menjelaskan bahwa tiga ikatan adalah antara ayah dan anak, tuan dan hamba, serta suami dan istri adalah dasar dari masyarakat yang harmonis. Namun, penanaman ikatan semacam itu sangat bergantung pada penyempurnaan karakter setiap orang dengan mengikuti lima unsur kebajikan yaitu kebajikan (Rén), kebajikan (Yì), kesopanan (Li), kebijaksanaan (Zhì), dan sifat dapat dipercaya (Xìn).
Guan Yu, seorang jenderal militer Tiongkok pada akhir dinasti Han Timur, sering dianggap sebagai perwujudan tertinggi dari Yi. Kata-katanya yang abadi terus menginspirasi orang hingga hari ini: “Jika tembok kota runtuh, itu berarti kematian, itu saja. Batu giok dapat dihancurkan, tetapi anda tidak dapat mengubah warna putihnya. Bambu bisa hangus, tapi sambungan ruasnya tidak bisa dihancurkan. Tubuhnya mungkin musnah, tetapi namanya akan hidup sampai anak cucu.”
Kebajikan mencakup rasa kebajikan mementingkan orang lain. Ini menyiratkan memenuhi tanggung jawab seseorang kepada orang lain tanpa memperhatikan keuntungan pribadi. Dalam arti luas, itu didefinisikan sebagai kemanusiaan, empati dan pengertian terhadap orang lain. Menurut Konfusius, kebajikan dikembangkan dengan mewujudkan kebajikan dasar keseriusan, kemurahan hati, ketulusan, ketekunan, dan kebaikan.
Sering diterjemahkan sebagai kebajikan atau kewajiban, kebajikan Yi menyiratkan kemampuan untuk mempertahankan kebajikan dan keadilan dalam segala keadaan. Mencakup sifat-sifat seperti kehormatan, kesetiaan, dan persaudaraan, kebajikan adalah konsep sentral dalam budaya tradisional Tiongkok.
Ritual dan kesopanan adalah landasan lain dalam pemikiran Konfusianisme. Sang Filsuf percaya bahwa ritual dan bentuk kesopanan adalah metode paling efektif bagi orang untuk mendamaikan keinginan mereka. Dengan menahan sifat tidak senonoh seseorang dan memperkuat kesopanan seseorang, adalah mungkin untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dan mematuhi perilaku sosial yang tepat.
Kebijaksanaan mensyaratkan pemahaman yang tepat dan penerapan kebajikan lainnya serta kemampuan untuk menilai karakter seseorang dalam pencerahan yang tepat. Nilai kepercayaan atau iman, disisi lain, menyiratkan kehandalan, tanggung jawab dan kemampuan untuk berkomitmen, yang kondusif untuk hubungan interpersonal yang kuat dan harmonis.
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Bagi Konfusius, etika dan moralitas adalah dasar dari kepemimpinan yang baik. Dia adalah orang pertama yang mengistimewakan pencapaian keterampilan penilaian diatas pengetahuan pada aturan, menjelaskan bahwa moral yang baik lebih efektif dalam mengatur perilaku orang daripada hukum. Konfusius percaya bahwa cara terbaik bagi seorang penguasa untuk menanamkan moralitas pada rakyatnya adalah dengan menjadi teladan moralitas.
“Jika orang-orang dipimpin oleh hukum, dan keseragaman berusaha diberikan kepada mereka dengan hukuman, mereka akan berusaha menghindari hukuman, tetapi tidak memiliki rasa malu. Jika mereka dipimpin oleh kebajikan, dan keseragaman dicari untuk diberikan kepada mereka dengan aturan kesopanan, mereka akan memiliki rasa malu, dan terlebih lagi akan menjadi baik.” (Analek Konfusius).
Ditengah kekacauan dan perang tak berkesudahan antar negara bagian feodal, Konfusius ingin mengembalikan Amanat Langit untuk mempersatukan bangsa. Menengok ke tradisi dinasti Xia, Shang, dan Zhou, sang filsuf percaya bahwa pemerintahan terpusat akan jauh lebih efektif dalam membawa perdamaian dan kemakmuran bagi rakyat, dibandingkan dengan sistem feodal yang mengakibatkan erosi dan terus bersaing pada masa hidup sang filsuf.
Namun penguasa harus mendapatkan kekuasaannya berdasarkan jasa moralnya, bukan berdasarkan garis keturunan. Dengan demikian, hubungan antara penguasa dan rakyatnya akan menyerupai hubungan antara seorang ayah dan putranya, dengan penguasa yang berbakti kepada rakyatnya dan rakyatnya menghormati pimpinan mereka dan bekerja sama tanpa syarat.
Selain itu, kata Konfusius, pemerintahan yang benar-benar efektif akan menempatkan peningkatan moral bahkan diatas kebutuhan materi sebelum memikirkan ekonomi dan pertahanan.
Seorang murid bertanya kepadanya: “Misalkan suatu negara harus berjalan tanpa tentara, makanan, atau kepercayaan. Mana yang harus dilupakan terlebih dahulu?”
Sang Guru menjawab, “Lupakan dahulu tentaranya, lalu makanannya. Tidak ada bangsa yang bisa bertahan hidup di dunia ini tanpa kepercayaan.”
Sentimen ini bergema dalam percakapan antara Mencius, salah satu murid Konfusius yang paling terkenal, dan Raja Hui dari Negara Bagian Liang. Raja menyesali hilangnya wilayah negaranya karena direbut musuh-musuhnya, dan berusaha menebus rasa malunya kepada leluhurnya.
Mencius mencatat bahwa semua negara bagian disekitar mereka membebani rakyatnya dengan pajak dan hukuman yang berat, yang menyebabkan kebencian dan tragedi diantara masyarakat. “Jika Yang Mulia menerapkan kebijakan kebajikan diantara rakyat,” katanya, “rakyat akan memiliki kesempatan untuk memupuk berbakti dan rasa hormat.” Masyarakat seperti itu tidak hanya akan mampu mempertahankan diri, tetapi juga mengalahkan negara saingan yang korup sebagai hal yang seharusnya.
Bersamaan dengan nasihat moralnya, Konfusianisme mengajarkan Doktrin Jalan Tengah. Menurut Konfusius, “kebajikan yang diwujudkan dalam Doktrin Jalan Tengah adalah urutan tertinggi. Tapi sudah lama jarang dilakukan di masyarakat”
Juga disebut Jalan Tengah, gagasan ini disusun dengan sistematis oleh cucu Konfusius, Kong Ji. Ia berpendapat bahwa jalan menuju perdamaian baik dalam hubungan keluarga atau antarpribadi dan dalam politik adalah dengan menghindari hal-hal yang ekstrem. Dia yang bisa menyeimbangkan semua hal dengan baik dalam kehidupan dan masyarakat, tanpa bertindak berlebihan, akan menikmati umur panjang dan kemakmuran.
Mempelajari Tao
Pengetahuan mendalam Konfusius dibentuk oleh pertemuannya dengan Lao Zi, Guru Taoisme.
Pertemuan pertama terjadi ketika Konfusius, yang saat itu berusia tiga puluhan, mengunjungi ibu kota untuk mempelajari sistem pengamatan seremonial Zhou, dari orang bijak yang terhormat yang saat itu bekerja sebagai sejarawan di arsip kerajaan. Konfusius tahu bahwa hanya Lao Zi yang dapat mengungkapkan kepadanya sumber musik ritual dan esensi moralitas.
Setelah menerima pelajaran dari Lao Zi dan bersiap untuk pergi, Konfusius menyatakan keprihatinan terbesarnya kepada sang bijak:
“Saya khawatir Jalan itu tidak berfungsi. Kebajikan dan kebenaran tidak dipraktikkan, perang dan kekacauan tidak ada habisnya, dan negara berada dalam kekacauan.” Dia kemudian menyatakan apa yang menjadi tujuan utamanya dan ketakutan utamanya: “Saya mengeluh bahwa hidup ini singkat, dan saya tidak dapat berguna bagi dunia dan masyarakat.”
Mengetahui niat Konfusius, Lao Zi melanjutkan dengan menunjukkan kekurangan muridnya dalam upaya untuk membantunya berkembang. Karena itu, dia mengajari Konfusius tentang kebajikan air.
Sang bijak menjelaskan bahwa air mewujudkan keutamaan kesederhanaan, karena bermanfaat bagi semua hal tanpa bersaing. Menjadi lunak dan lemah, air tidak melawan apapun dan menyesuaikan diri dengan segalanya. Mengalir rendah dan tidak mengejar ketinggian, air menjinakkan semua biji-bijian dan tanaman dengan sifat tunduknya.
Kemudian dia memberikan nasehat yang blak-blakan kepada Konfusius: “Kamu harus menyingkirkan kesombongan dan keinginanmu, singkirkan ambisi yang sangat kamu sukai, karena hal-hal ini sama sekali tidak baik untukmu.”
Konfusius berterima kasih kepada sang bijak atas kebajikannya, berjanji untuk menyimpan pelajaran ini didalam hatinya. Dia kemudian memulai perjalanan pulang.
Sekitar 17 tahun kemudian, Konfusius mengetahui bahwa Lao Zi telah kembali ke Pei dari Negara Bagian Song untuk hidup dalam pengasingan. Karena itu, dia memutuskan untuk mengunjunginya.
Lao Zi menyapanya dengan ramah dan bersiap untuk mendengarkan. Dengan hati yang gelisah, Konfusius mengatakan kepada sang bijak bahwa dia belum memperoleh Tao, meskipun belajar dengan rajin dan menempuh perjalanan yang sangat jauh. Karena itu, dia kembali untuk meminta nasihat.
Sang bijak berkata: “Tao sedalam laut, setinggi gunung, di seluruh dunia dan dimana-mana. Tao mengalir tanpa henti dan mencapai segalanya. Ketika anda mencarinya, itu tidak mungkin diperoleh; ketika anda mendiskusikannya, itu tidak dapat dicapai! Tao menciptakan Langit dan Bumi tanpa memudar, dan menanggung segala sesuatu tanpa layu. Karena Tao, langit menjadi tinggi, bumi menjadi tebal, matahari dan bulan bergerak, empat musim menjadi teratur, dan segala sesuatu terbentuk.”
Dia kemudian menguraikan tentang bagaimana perilaku manusia dapat diselaraskan dengan Tao. Dia menjelaskan bahwa mengikuti jalan alam adalah jalan orang bijak, dan orang yang membiarkan sesuatu terjadi secara alami tanpa bergantung pada hal-hal yang berubah adalah orang yang telah mencapai Jalan.
Kata-kata Guru Tua yang bersahaja namun mendalam mengguncang Konfusius sampai ke intinya: “Pada usia 15, saya menetapkan hati saya untuk belajar; pada usia 30, saya telah berpijak dengan kuat di tanah; pada usia 40, saya tidak lagi bingung. Sekarang di usia 51 tahun, saya telah mempelajari apa itu penciptaan!”
Dia kemudian mengabdikan dirinya untuk mengajar siswa, menulis buku dan memperbaiki buku yang ada, meninggalkan sistem filosofis yang nantinya akan disusun dengan sistematis dan diajarkan dari generasi ke generasi.
Konfusianisme Sepanjang Zaman
Ide-ide Konfusius populer tetapi diterima tidak tanpa perlawanan. Era dimana Konfusius hidup dikenal sebagai masa ketika “seratus aliran pemikiran bersaing” untuk mendapatkan pengaruh.
Beberapa cendekiawan, seperti Mohis, mengkhotbahkan doktrin “cinta yang setara” sebagai lawan dari “cinta universal” yang dibicarakan oleh Konfusius. Karena Konfusius mengajarkan bahwa wajar bagi orang untuk lebih mencintai keluarga dan teman mereka daripada orang lain, pendukung Mohisme pembangun keyakinan Mo Zi mencela Konfusianisme karena tidak mendorong kesetaraan.
Tantangan terbesar terhadap gagasan Konfusius adalah Legalisme, sebuah ideologi totaliter yang menyatakan bahwa manusia, yang pada dasarnya egois, harus diatur oleh hukum yang ketat untuk memakmurkan negara dan memperkuat militer. Filsuf legalis menganggap filsafat independen dan bahkan ajaran moral sebagai cara berpikir yang menyesatkan yang berbahaya yang akan “memecah belah” negara.
Raja-raja negara Tiongkok tertarik pada Legalisme, yang menempatkan semua kekuasaan di tangan penguasa. Akhirnya, tanah Tiongkok disatukan oleh Ying Zheng, raja Negara Bagian Qin, yang mendirikan dinasti kekaisaran pertama di Tiongkok. Buku-buku Konfusius dibakar bersama dengan tulisan-tulisan aliran pemikiran lain yang pernah berkembang di seluruh negeri. Kecuali untuk Yi Jing (Buku Perubahan), yang digunakan untuk ramalan, semua buku filosofis lainnya dilarang. Hanya dengan upaya khusus dari beberapa cendekiawan, yang menyembunyikan ajaran sang guru besar dalam perabotan pernis, yang memungkinkan gagasan Konfusius dapat bertahan.
Pada tahun 206 SM, kekaisaran Qin runtuh di bawah beban hukum yang kejam segera setelah kematian Kaisar Pertama. Dinasti berikutnya (Han) mengambil pendekatan Taois sebagai laissez-faire (doktrin yang menentang pengaruh pemerintah dalam ekonomi diatas batas minimum untuk menjaga kedamaian dan kekayaan intelektual) untuk memerintah, mendorong pertumbuhan birokrasi dan ekonomi yang terbatas.
Konfusianisme mengalami kebangkitan pada masa pemerintahan Kaisar Wu dari Han. Kaisar telah berjuang untuk mengendalikan kepentingan pribadi yang korup yang telah ditanamkan dimasa nenek moyangnya, dan membutuhkan filosofi baru untuk membimbing rakyat dan memperkuat pemerintahannya.
Berkonsultasi dengan cendekiawan Dong Zhongshu, Kaisar Wu memutuskan untuk menetapkan Konfusianisme sebagai ideologi negara, menyatakan bahwa hanya melalui pemerintahan yang bijak seorang kaisar dapat mengklaim Mandat Langit. Setiap raja yang menentang kehendak Dewa bisa dan harus digulingkan. Pemerintahan Kaisar Wu adalah salah satu zaman keemasan utama dalam sejarah Tiongkok.

Pada masa Dinasti Song, para cendikiawan membahas lebih jauh tentang makna inti dari ajaran Konfusius, yang mengarah pada penciptaan apa yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai “neo-Konfusianisme” tetapi mungkin lebih akurat diterjemahkan menjadi “studi prinsip” atau hanya “Rasionalisme.” Sementara para filsuf neo-Konfusianisme berusaha menjembatani kebijaksanaan sang bijak dengan yang ditemukan dalam Taoisme dan Buddhisme untuk mencari kebenaran filosofis, tren intelektual baru ini akhirnya tereduksi menjadi formalitas.
Isi ujian kekaisaran menjadi semakin misterius dan samar untuk tujuan menyaring hampir semua calon cendekiawan dari kelas elit, sementara interpretasi doktrin Konfusianisme yang hambar atau ekstrem menjadi arus utama.
Sistem kekaisaran dan Konfusianisme tetap berlaku selama 2.000 tahun hingga penurunan kaisar terakhir pada tahun 1911. Pemikiran Konfusianisme melampaui batas ruang dan waktu, memberikan pengaruh yang luar biasa pada budaya Asia Timur dan tetap berpengaruh hingga hari ini.
Konfusius sendiri dihormati sebagai “guru teladan dari semua generasi”, dan keturunannya dianugerahi gelar bangsawan kehormatan di setiap dinasti. Saat ini, cucunya generasi ke-79, Kong Tsui-chang, memegang gelar kehormatan pemerintah Republik Tiongkok sebagai Pejabat Upacara kepada Konfusius di Taiwan.
Penyalahgunaan oleh Partai
Partai Komunis Tiongkok (PKT), telah lama mengkritik Konfusius dalam perang salibnya melawan “masyarakat tua yang jahat” dimasa Tiongkok kuno, tetapi telah menggunakan namanya untuk meningkatkan nasionalisme di dalam negeri dan menyebarkan narasi propagandanya ke luar negeri.
Inti dari ideologi Partai Komunis adalah gagasan ateisme dan materialisme, yang berakar pada filosofi perjuangan Marxis. Setelah merebut kekuasaan pada tahun 1949, Partai Komunis Tiongkok (PKT) berbalik melawan budaya dan kepercayaan tradisional, melabelinya sebagai “takhyul feodal”. Konfusius, salah satu yang mewakili budaya tradisional terbesar, dikecam sebagai “menyederhanakan masalah, menonjolkan ketinggian ilmunya, dan feodal” oleh Mao Zedong, pendiri komunis “Tiongkok Baru”.
Selama Revolusi Kebudayaan (1966-1976), Pengawal Merah bertindak atas perintah Mao untuk membersihkan “empat tua” yaitu ide lama, budaya lama, kebiasaan lama, dan kebiasaan lama.
Kuil Konfusius di kampung halamannya di Qufu dihancurkan dan kuburannya dirusak. Sebagai penghinaan terakhir terhadap sang guru, bagian tubuh yang tersisa dari beberapa keturunan digali, dinodai, dan dibakar.
Ajaran moral sang filsuf digantikan oleh kultus sekuler Partai Komunis. Melalui kampanye yang kuat, PKT memaksa rakyat untuk percaya bahwa penghancuran budaya kuno sama saja dengan menyelamatkan orang dari kehidupan dimasa lalu yang kuno dan terbelakang.
Dengan demikian nilai-nilai seperti berbakti dan hidup rukun ditolak dan ditentang secara ekstrem. Anak-anak didorong untuk mencela orang tua mereka jika orang tua mereka tidak setuju dengan partai, dan kultus uang serta kesetiaan kepada partai menjadi nilai dasar masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, PKT mengumumkan akan memadukan ajaran Konfusianisme ke dalam ideologi sosialisnya untuk membuat bangsa Tiongkok lebih percaya diri terhadap budayanya sendiri dan melawan dampak budaya lain. Untuk tujuan ini, Partai telah dengan sengaja menghapus apa yang disebutnya sebagai “bagian-bagian yang tidak mencerahkan dan feodal” dari Konfusianisme, dan memilih ide-ide Konfusianisme yang didefinisikan secara sempit.
Gagasan harmoni adalah contoh kasus. Menurut sang bijak kuno, masyarakat yang harmonis adalah masyarakat yang setiap individu didalamnya memenuhi tanggung jawabnya secara moral. Namun, menurut Partai, masyarakat yang harmonis adalah masyarakat dimana tidak ada perbedaan pendapat terhadap pemerintahan komunis, yang pada gilirannya membenarkan penindasan sewenang-wenang terhadap minoritas dan tahanan hati nurani.
Gagasan Konfusius tentang kepatuhan dan rasa hormat kepada pimpinan juga telah digunakan oleh PKT untuk menuntut kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintahan otoriternya. Dengan mewajibkan untuk bergabung dengan organisasi Partai seperti Liga Pemuda Komunis atau dan Pionir Muda Komunis, semua warga negara Tiongkok diharuskan bersumpah untuk mengabdikan hidup mereka untuk mengabdi dibawah kekuasaan PKT. Prasyarat Konfusius bagi rakyat untuk menghormati dan bekerja sama tanpa syarat dengan penguasa mereka, seperti penguasa membuktikan dirinya sebagai teladan yang baik, jelas dibuang.
PKT juga telah memutarbalikkan kata-kata Konfusius untuk menampilkan Marxisme ateisnya sebagai budaya Tiongkok kuno. Tidak seperti praktik spiritual, Konfusianisme sebagian besar mementingkan moralitas sekuler. Konfusius sendiri berkata, “Saya menghormati dewa dan roh tetapi menjaga jarak dari mereka”, sesuatu yang dipromosikan oleh propaganda Partai sebagai Konfusius tidak percaya pada Yang Maha Kuasa.
Tetapi Konfusius tidak menyangkal keberadaan dewa, dan bahkan mengatakan dalam pengamatannya tentang berbakti bahwa “ketika berbakti dan rasa hormat persaudaraan selesai, mereka selaras dengan rahmat Yang Kuasa, menerangi empat lautan, tidak meninggalkan satu tempatpun dalam kegelapan.”
Dengan kata lain, Konfusius, seperti orang suci lainnya, mengajarkan iman dan kebajikan di alam fana diberkati oleh kemurahan Yang Kuasa.
PKT melihat semua keyakinan dan moralitas sebagai penghalang bagi kekuasaannya, atau sebagai alat politik yang berguna. Sejak tahun 2004, Tiongkok telah membuka lebih dari 1.600 Institut Konfusius dan Ruang Kelas Konfusius terkait di seluruh dunia untuk mempromosikan bahasa, budaya, dan sejarah Tiongkok versi komunis.
Ditampilkan sebagai memfasilitasi pertukaran budaya yang ramah, lembaga-lembaga ini melarang profesor mereka mendiskusikan topik yang dianggap kontroversial oleh PKT, seperti hubungan Tiongkok-Taiwan, pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung, atau pembantaian Tiananmen 1989.
Sebuah film dokumenter, Atas Nama Konfusius, menggambarkan bagaimana Sonia Zhao, seorang praktisi Falun Gong yang tinggal di Kanada, dilarang bekerja sebagai guru bahasa Mandarin untuk Institut Konfusius di Universitas McMaster karena dia menolak menandatangani perjanjian yang mengatakan bahwa dia akan menghindari diskusi tentang keyakinannya atau penganiayaan yang dihadapinya di Tiongkok.
Untungnya, baik pembuat kebijakan dan masyarakat secara bertahap belajar melihat banyak cara Komunis Tiongkok untuk mempengaruhi dan menyusup ke Barat. Sementara itu, jutaan orang di Tiongkok dan luar negeri menemukan kembali keindahan dan kearifan budaya tradisional Tiongkok selama lima milenium.
Melalui seni visual, seni pertunjukan, dan kebangkitan spiritualitas, dunia diingatkan akan kebenaran tentang kehidupan dan alam semesta yang diketahui dengan jelas oleh nenek moyang kita, tetapi banyak yang terpaksa melupakannya. (visiontimes)
Lebih banyak kisah Budaya, silahkan klik di sini. Video, silahkan klik di sini.
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI