Ada kisah terkenal tentang puisi Shenxiu dan Huineng, dua biksu dari aliran Zen:
Shenxiu berkata:
“Tubuh adalah pohon Bodhi, pikiran seperti cermin yang terang.
Selalu bersihkan dengan tekun, jangan biarkan debu menempel.”
Huineng menjawab:
Tidak ada pohon Bodhi, cermin terang juga bukan tempat berpijak
Sejak awal tiada satu pun yang nyata, dari mana bisa datang debu?”
Namun, tahukah Anda kisah di balik puisi terkenal ini?
Asal-usul Dua Puisi Zen
Guru besar Zen kelima, Master Hongren, sudah sangat sepuh dan mencari murid yang akan menjadi penerus alirannya. Untuk menilai tingkat pencerahan para biksunya, ia meminta mereka menulis puisi yang menunjukkan pemahaman mereka tentang hakikat pikiran dan Jalan (Tao).
Shenxiu, seorang biksu senior, menulis puisinya di dinding kuil. Dalam syair yang ditulisnya tersebut, Shenxiu membandingkan tubuh manusia dengan pohon bodhi, tempat Shakyamuni menyadari kebenaran hidup dan mencapai pencerahan. Beliau juga mengibaratkan pikiran sebagai cermin yang memantulkan apa yang terlihat, mengingatkan para umat untuk senantiasa membersihkan pikiran dan tidak membiarkan gangguan eksternal, seperti debu, mengotori tubuh dan pikiran, yang seharusnya murni.
Huineng, seorang biksu junior yang bekerja di dapur, mendengar tentang puisi Shenxiu tersebut, dan mengutarakan pendapatnya: “Pada mulanya, tidak ada apa pun. Dari mana bisa datang debu?”, yang menunjukkan sifat pikiran asli yang murni dan tak ternoda, dengan frasa: “pada mulanya tiada.” Artinya, semua fenomena bagaikan mimpi dan ilusi, yang mengingatkan manusia untuk melepaskan delusi dan keterikatan, sehingga mereka dapat memahami hakikat sejati mereka dan mencapai pencerahan.
Ketika Master Hongren membaca puisi Huineng, ia menyadari bahwa Huineng memiliki kebijaksanaan spiritual yang mendalam. Ia kemudian memanggil Huineng secara rahasia dan memberitahunya bahwa ia memiliki “akar kebijaksanaan” (慧根), potensi pencerahan sejati. Namun karena Huineng baru delapan bulan di kuil, Hongren tidak dapat secara terbuka mengakuinya sebagai penerus. Maka secara sembunyi-sembunyi, ia menyerahkan jubah dan mangkuk — simbol garis keturunan Zen — kepada Huineng, serta memintanya pergi ke selatan dan tidak pernah kembali ke utara. Hongren juga mengatakan bahwa Huineng akan menjadi penerus terakhir aliran Zen tersebut.
Perjalanan Huineng dan Warisan Abadi
Setelah wafatnya Master Hongren, Buddhisme Zen terpecah menjadi dua aliran: Neng Selatan (Huineng) dan Xiu Utara (Shenxiu).
Ketika Huineng wafat, tubuhnya tetap utuh selama lebih dari seribu tahun — hingga kini masih tersimpan di Kuil Nanhua.
Masa-masa Kegelapan
Pada masa pendudukan Jepang di Tiongkok, tubuh Huineng hampir dihancurkan. Para prajurit yang penasaran mencoba mengiris tubuh tersebut, tetapi berhenti saat melihat daging asli di bawah permukaannya. Karena mereka juga percaya Buddha, mereka pun menghormati keajaiban itu dan membiarkan jasadnya tetap utuh.
Sayangnya, pada masa Revolusi Kebudayaan, Pengawal Merah Partai Komunis Tiongkok — yang bersemangat menyebarkan ateisme — menghancurkan tubuh Huineng. Mereka bahkan membuka tengkoraknya dalam tindakan penistaan brutal. Pada masa itu pula, banyak biksu dipaksa meninggalkan kehidupan kebhiksuan, suatu proses yang disebut huán sú (還俗) — “kembali ke kehidupan duniawi”.
Warisan Budaya Tiongkok: Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme
Kisah ini disebutkan dalam Zhuan Falun, teks utama Falun Dafa, yang menyinggung antara kisah Shenxiu dan Huineng:
Guru Falun Dafa, Master Li Hongzhi, menulis dalam Zhuan Falun:
“Anda mungkin pernah mendengar bahwa Buddhisme Zen juga berbicara mengenai perbedaan Dun Wu (Terbuka kesadaran dengan seketika) dan Jian Wu (Sadar Secara Berangsur-angsur). Huineng selaku pemimpin generasi keenam Buddhisme Zen menganut Dun Wu, Shenxiu dari faksi utara menganut Jian Wu. Sepanjang sejarah mereka berdua dalam filosofi Buddha telah terjadi perdebatan dalam waktu yang sangat lama, saling berdebat berkelanjutan. Menurut saya tidak ada artinya. Mengapa? Karena yang mereka maksud tidak lebih hanya pengertian terhadap suatu prinsip dalam proses Xiulian. Prinsip ini, ada yang dengan seketika telah memahami, sedangkan yang lain berangsur-angsur baru dapat menyadari maupun memahami. Apakah perlu dipersoalkan bagaimana cara menyadarinya? Jika dapat memahami dengan seketika adalah lebih baik, berangsur-angsur telah menyadarinya juga baik, bukankah semua telah menyadari? Semua juga telah menyadari, oleh karena itu yang mana saja juga tidak salah”
Falun Dafa berakar pada prinsip alam semesta: “Sejati, Baik, Sabar” (Zhen, Shan, Ren), sekaligus mengingatkan para praktisi akan warisan budaya Tiongkok yang mendalam.
Antara tahun 1992 dan 1998, ajaran mendalam Falun Dafa menyebar pesat dan menarik sekitar 100 juta praktisi di Tiongkok. Namun, karena jumlahnya melebihi anggota Partai Komunis dan ajarannya tidak sejalan dengan ideologi ateis partai, rezim tersebut — diliputi rasa takut dan iri — melarang dan menindas Falun Dafa, meskipun mereka tahu Falun Dafa membawa banyak manfaat positif bagi masyarakat Tiongkok.
Di era ketika ateisme dan komunisme mendominasi di Tiongkok, Guru Li Hongzhi justru menyampaikan ajaran yang sangat berbeda. Dalam buku Zhuan Falun, beliau dengan jelas dan sederhana menjelaskan konsep-konsep besar tentang alam semesta, ruang-waktu, tubuh manusia, makna kehilangan dan perolehan, menjawab berbagai pertanyaan, seperti, “Apa makna sebenarnya dari keberadaan manusia? Mengapa manusia harus menderita, harus ada bencana dan ada kebahagiaan?, membuat jutaan orang dapat memahami tujuan dan makna kehidupan. Banyak orang yang mengalami perubahan luar biasa secara fisik, mental, dan spiritual setelah mempelajarinya.
Guru Li sering kali menyampaikan bahwa budaya tradisional Tiongkok selama 5.000 tahun adalah budaya yang diwariskan oleh langit (dewa). Selama manusia mampu memperbaiki moral, berbuat baik, percaya kepada Tuhan, serta kembali ke nilai-nilai tradisional, maka mereka dapat kembali ke dunia surga.

