Site icon NTD Indonesia

Apa yang Paling Berharga dalam Hidup?


Orang sering bertanya-tanya, apa yang paling berharga dalam hidup?
Ada yang mengatakan: hal yang tidak bisa kita peroleh; ada pula yang bilang, hal yang sudah kita kehilangan.
Hidup tak bisa diulang, dan kebahagiaan yang telah pergi tak dapat kembali.
Segala sesuatu yang sulit diraih sering tampak misterius dan memikat, membuatnya terlihat semakin berharga.
Namun, seperti yang diungkapkan dalam sebuah kisah kuno, apa yang kita cari belum tentu yang paling penting.

Laba-laba yang berlatih ribuan tahun

Dahulu kala, di Kuil Yuanyin, seekor laba-laba memintal jaringnya di balok di atas pintu masuk.
Setiap hari ia dibelai asap dupa dan dikelilingi doa para umat.
Selama ribuan tahun ia berdiam diri dalam keheningan, hingga perlahan memperoleh kebijaksanaan.

Suatu hari, Buddha berkunjung ke kuil itu. Saat hendak pergi, beliau menatap ke atas dan melihat laba-laba itu.

“Sepertinya kita memang berjodoh,” ujar Buddha. “Izinkan aku bertanya, untuk melihat kebijaksanaan yang telah kau peroleh selama ini. Katakan, apa hal yang paling berharga di dunia?”

Laba-laba berpikir sejenak lalu menjawab, “Yang paling berharga adalah hal yang tak bisa kita peroleh, dan yang telah kita kehilangan.”

Buddha tersenyum lembut, lalu pergi.

Seribu tahun berlalu.

Buddha datang kembali dan bertanya, “Apakah engkau kini memahami pertanyaan itu lebih dalam?”

Laba-laba memberikan jawaban yang sama.

Buddha tersenyum dan berkata, “Pikirkanlah dengan saksama. Aku akan datang lagi.”

Setetes embun dan pelajaran tentang keterikatan

Seribu tahun lagi berlalu.

Suatu pagi, hembusan angin membawa setetes embun berkilau jatuh di jaring laba-laba.

Embun itu bening, jernih, dan indah tak terlukiskan.

Hari demi hari, laba-laba memandanginya dengan sukacita yang belum pernah ia rasakan selama tiga ribu tahun.

Namun tak lama, hembusan angin kuat kembali datang dan menyapu embun itu pergi.
Laba-laba dilanda kehampaan dan kehilangan yang amat dalam.

Ketika Buddha datang lagi dan bertanya, “Sudahkah engkau merenungkan apa yang paling berharga di dunia?”

Laba-laba, masih berduka atas hilangnya embun, menjawab, “Yang paling berharga adalah hal yang tak bisa kita peroleh, dan yang telah kita kehilangan.”

Buddha berkata, “Kalau begitu, pergilah ke dunia manusia dan rasakan hidup itu sendiri.”

Kehidupan manusia sebagai Zhu’er

Laba-laba itu terlahir kembali di keluarga bangsawan sebagai seorang gadis bernama Zhu’er.

Ia tumbuh menjadi gadis lembut, cantik, dan berhati baik.

Pada usia enam belas tahun, ia menghadiri pesta perayaan bagi sarjana baru yang menjadi juara ujian negara, bernama Ganlu, bersama Putri Changfeng, putri kaisar.

Kecerdasan dan pesona Ganlu memikat semua orang.

Zhu’er percaya inilah jodoh yang telah diatur Buddha untuknya.

Beberapa waktu kemudian, Zhu’er bertemu lagi dengan Ganlu di kuil.

Ia begitu antusias, namun Ganlu bersikap dingin kepadanya.

“Apakah kau tak ingat jaring laba-laba di Kuil Yuanyin enam belas tahun lalu?” tanya Zhu’er.
Ganlu tersenyum sopan. “Kau punya imajinasi yang menarik, Nona Zhu’er,” ujarnya, lalu pergi.

Hati Zhu’er hancur.

Jika cinta ini memang takdir, mengapa ia tak mengingatnya? Mengapa tidak ada rasa cinta untuknya?

Pencerahan hati

Tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Ganlu akan menikahi Putri Changfeng, sementara Zhu’er dijodohkan dengan Zhicao.

Berita itu membuat Zhu’er putus asa. Ia berhenti makan dan jatuh sakit parah.

Zhicao, yang mencintainya dengan tulus, berlutut di samping tempat tidurnya dan berkata: “Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu. Jika kau mati, aku pun tak ingin hidup.”

Ia mengangkat pedang, hendak mengakhiri hidupnya.

Pada saat itu, Buddha menampakkan diri kepada jiwa Zhu’er yang akan pergi dan berkata,

“Laba-laba, tahukah kau siapa yang membawa embun—Ganlu—kepadamu?

Itu adalah angin, Putri Changfeng, yang meniupkannya datang dan membawanya pergi.

Ganlu adalah miliknya. Ia hanya sekilas dalam perjalanan hidupmu.

Tapi Zhicao adalah sehelai rumput kecil di luar Kuil Yuanyin.

Ia memandangimu selama tiga ribu tahun, mencintaimu selama tiga ribu tahun, dan kau tak pernah sekalipun menunduk untuk melihatnya.

Sekarang katakan, apa yang paling berharga di dunia?”

Cahaya pencerahan menyinari hatinya.

“Bukanlah apa yang tak bisa kita peroleh atau yang telah kita kehilangan,” jawab Zhu’er pelan.
…. “melainkan kebahagiaan yang bisa kita genggam pada saat ini.”

Buddha tersenyum dan lenyap.

Jiwa Zhu’er kembali ke tubuhnya. Ia membuka mata, melihat Zhicao hendak menebas dirinya, dan segera menepis pedangnya.

Mereka saling berpelukan, menangis penuh rasa syukur dan kesadaran baru.

Menghargai saat ini

Yang telah berlalu tak akan kembali, dan masa depan tetaplah misteri.

Yang paling berharga adalah kebahagiaan yang dapat kita rasakan saat ini.

Hargailah apa yang ada di depan mata — karena itulah harta terbesar dalam hidup.