Ini adalah kisah tentang cincin kertas dan makna sebenarnya, antara sepasang kekasih. Kisah cinta mereka terjadi di daratan Tiongkok, di mana kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar.
Suatu hari, wanita itu mengagumi cincin yang indah di tangan orang lain dan mengungkapkan keinginannya: “Saya berharap saya juga memilikinya.” Pria itu, yang terlalu miskin untuk membeli cincin seperti itu, tetap diam. Tapi dia tidak pernah melupakan kata-katanya.
Segera setelah itu, pada hari ulang tahun sang wanita, sang pria, yang sangat jatuh cinta, menghadiahkan sebuah cincin kertas yang unik yang dibungkus dengan kertas lilin. Wanita itu, yang tenggelam dalam cinta, memakainya dengan bangga, merasa benar-benar diberkati. Namun kemudian, wanita itu menikah dengan orang lain, seorang pria kaya, dan bukan dengan pria yang memberinya cincin kertas. Hal ini mencerminkan tren yang umum terjadi di masyarakat saat ini.
Pada hari pernikahannya, dia berkilauan dengan emas. Sekarang, dia adalah orang yang membuat iri wanita lain karena keberuntungannya. Cincin kertas yang pernah ia terima tersimpan di sudut laci.
Namun, masa-masa indah itu tidak berlangsung lama. Tidak lama setelah menikah, suaminya yang kaya raya terlibat dengan putra seorang pejabat tinggi. Karena perselisihan bisnis, suaminya dipenjara karena penggelapan pajak dan urusan yang melanggar hukum lainnya. Dia didenda besar hingga kehilangan kekayaan keluarganya. Kehidupan wanita itu jatuh ke dalam kekacauan. Wajahnya dibanjiri air mata sepanjang hari.
Suatu hari, wanita yang kini kuyu ini bertemu dengan mantannya telah memberinya cincin kertas. Meskipun sebelumnya kecewa, pria itu cukup murah hati untuk mengundangnya ke rumahnya untuk memberinya makan. Pria itu telah menikah dan tinggal di sebuah kontrakan, dan wanita itu melihat bahwa pria itu masih hidup dengan sangat sederhana.
Istri pria itu dengan sopan menuangkan tehnya, dan wanita itu memperhatikan bahwa cincin kertas di tangannya hampir identik dengan yang dia lemparkan ke sudut laci. Istri pria itu meninggalkan mereka untuk berbicara empat mata. Tanpa kata-kata, wanita itu dapat merasakan kebahagiaan pria itu dan kepuasan istrinya, sangat kontras dengan kekosongannya sendiri.
Beberapa waktu kemudian, wanita itu membolak-balik majalah dan menemukan sebuah artikel berjudul “Cincin Kertas.” Jantungnya berdegup kencang saat ia buru-buru melirik untuk melihat siapa penulisnya – yang tidak lain adalah mantan kekasihnya yang dulu sangat setia. Cerita itu menggambarkan bagaimana dia tidak mampu membeli cincin emas untuk kekasihnya dan harus menjual darahnya untuk membelinya, dan akhirnya membungkusnya dengan kertas lilin.
Dipenuhi dengan penyesalan setelah membaca ini, wanita itu menangis, dan air matanya jatuh ke atas cincin itu setetes demi setetes. Sejak saat itu, wanita tersebut mengenakan cincin itu ke dan dari tempat kerja. Rekan-rekan kerjanya mengagumi cincinnya, serta bertanya kepadanya tentang cincin itu. Wanita itu, yang diliputi kesedihan, menjawab: “Ada banyak orang dan hal-hal materi dalam hidup Anda yang Anda anggap remeh, tetapi baru setelah Anda kehilangannya, Anda baru menyadari betapa berharganya hal-hal itu!”
Kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam pernikahan dan kehidupan, uang bukanlah aset yang paling berharga. Kekayaan sejati terletak pada ketulusan dan kebaikan, harta tak ternilai yang bermanfaat bagi kita selamanya. (nspirement)
Lebih banyak artikel Budi Pekerti, silahkan klik di sini. Video, silahkan klik di sini
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI