Penelitian mengungkapkan bahwa Gen Z sedang berjuang dengan kebahagiaan, tetapi ada cara untuk mengubahnya
Beberapa bulan yang lalu, saya pergi bersama seorang teman untuk menonton pertunjukan lokal “You’re a Good Man, Charlie Brown.” Meskipun secara umum akrab dengan karakter Peanuts, saya belum pernah menonton pertunjukan musikal itu sebelumnya, dan merasa agak terhibur oleh semua kebenaran filosofis yang tersebar di seluruh naskah dan lagu yang sederhana.
Namun, baru beberapa minggu kemudian, saya dikejutkan oleh makna dari salah satu pertunjukan terakhir, “Happiness.” Liriknya pada dasarnya adalah daftar hal-hal yang membawa kegembiraan dalam kehidupan karakter usia sekolah dasar: Charlie Brown, Lucy, Linus, Sally, dan lainnya.
Lagu ini muncul di benak saya ketika saya menemukan jajak pendapat Gallup yang membahas kebahagiaan Generasi Z. Data jajak pendapat menunjukkan bahwa seperempat anak-anak Generasi Z tidak bahagia, sesuatu yang menurut Gallup berperan dalam fakta bahwa Amerika Serikat baru-baru ini tersingkir dari daftar 20 negara paling bahagia. Beberapa alasan yang diberikan untuk ketidakbahagiaan ini termasuk kurangnya minat dan motivasi dalam pekerjaan dan sekolah dan perasaan tanpa arah tentang kehidupan secara umum.
Mengapa generasi muda bergulat dengan perasaan tidak bahagia seperti itu? Saya akan menjadi orang pertama yang mengakui bahwa ada beberapa hal yang sangat besar dan jelas berperan dalam jawaban itu, tetapi saya juga bertanya-tanya apakah ada beberapa alasan lebih kecil dan kurang terlihat yang mendasari epidemi ketidakbahagiaan ini.
Menunjukkan yang Jelas dan Kurang Jelas
Bukan rahasia lagi bahwa kecanduan masyarakat terhadap perangkat digital telah meningkatkan kesepian, selain itu juga menciptakan ketakutan besar akan “rasa ketertinggalan.” Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar generasi muda di beberapa negara di dunia tidak menganggap agama sebagai bagian dari imannya.
Dengan kata lain, keberadaan ponsel dan ketiadaan Tuhan berperan besar dalam memicu ketidakbahagiaan generasi sekarang, kemungkinan karena kedua faktor tersebut memicu kehidupan yang tidak memiliki tujuan. Keterikatan akan ponsel mendorong seseorang untuk terus menerus menggulir layar ponsel tanpa tujuan dan membandingkan diri mereka dengan orang lain yang ada di media sosial; alasan yang kedua melakukannya karena menghilangkan tanggung jawab kepada Sang Pencipta yang Mahatahu dan memiliki rencana sempurna untuk setiap kehidupan. Jadi, membalikkan kedua masalah ini akan sangat membantu dalam meningkatkan kebahagiaan generasi sekarang.
Faktor yang tidak terlalu kentara yang memengaruhi ketidakbahagiaan Gen Z adalah meningkatnya kehadiran hal-hal seperti pembelajaran sosial-emosional (SEL) di sekolah-sekolah saat ini. Seperti yang ditulis Abigail Shrier dalam buku terbarunya, “Bad Therapy: Why the Kids Aren’t Growing Up,” pelatihan SEL menginstruksikan guru untuk membuat sesi terapi kelompok di kelas mereka, mendorong anak-anak untuk berbagi masalah pribadi dan keluarga mereka dengan guru dan teman sekelas mereka. Meskipun berbagi cerita seperti itu terkadang bermanfaat, terpaku pada hal-hal buruk juga dapat membebani anak-anak, menyebabkan mereka tidak hanya berkutat pada masalah mereka sendiri, tetapi juga masalah orang lain—beberapa di antaranya bahkan memiliki problematika yang lebih besar dan lebih serius daripada yang seharusnya dialami banyak anak di usia dini. Berpartisipasilah dalam beberapa sesi ini, dan kemungkinan besar akan menjadi jelas mengapa kaum muda begitu tertekan!
Mengungkapkan Rasa Syukur
Alasan ketiga mengapa Gen Z berjuang melawan ketidakbahagiaan mungkin karena kita belum mengajari mereka untuk menghargai dan mengungkapkan rasa syukur atas hal-hal kecil dalam hidup.
“Kebahagiaan manusia dihasilkan bukan oleh keberuntungan besar, yang jarang terjadi, melainkan oleh keuntungan-keuntungan kecil yang terjadi setiap hari,” tulis Benjamin Franklin dalam “Autobiography,” menggunakan contoh dengan mengajar kaum muda agar bekerja menghasilkan uang berapapun jumlahnya daripada hanya memberi mereka segepok uang:
“Jadi, jika Anda mengajari seorang pemuda miskin untuk mencukur dirinya sendiri, dan menjaga pisau cukurnya tetap rapi, Anda dapat berkontribusi lebih banyak pada kebahagiaan hidupnya daripada memberinya seribu guinea. Uang itu mungkin akan segera dihabiskan, penyesalan yang tersisa hanyalah karena telah menghabiskannya dengan berfoya-foya; tetapi dalam kasus lain, ia terhindar dari kekesalan yang sering terjadi karena harus menunggu tukang cukur, dan jari-jari mereka yang terkadang kotor, napas yang tidak sedap, dan pisau cukur yang tumpul; ia bercukur saat paling nyaman baginya, dan menikmati kesenangan setiap hari karena dilakukan dengan alat yang bagus.”
Itu mungkin masalah Gen Z. Mereka meyakini—baik melalui media sosial atau lainnya—bahwa hidup mereka tidak berharga kecuali mereka melakukan hal-hal hebat atau memiiki kehidupan yang terbaik. Dan karena budaya media sosial harus memperjuangkan “piala hebat” agarmenjadi “orang hebat”, mereka akhirnya menerima gagasan bahwa hal-hal hebat dan baik itu harus didapatkan dengan mudah. Dengan beranggapan seperti itu, mereka mengabaikan keuntungan dan berkat sederhana dalam hidup mereka, memilih jalan kesengsaraan sebagai gantinya.
Bagaimana kita bisa mengajarkan hal yang sebaliknya kepada anak-anak kita? Lagu Charlie Brown yang berjudul “Happiness” memberi kita petunjuk. Lagu itu menunjukkan kelompok Peanuts mengungkapkan rasa syukur atas kesenangan hidup yang sederhana, seperti “pizza dengan sosis,” “belajar bersiul,” atau “memanjat pohon.”
Pikir Anda mustahil mengajarkan anak-anak Anda untuk menghargai kesenangan-kesenangan kecil dalam hidup ini?
Sebenarnya tidak—setidaknya, tidak jika Anda membesarkan anak-anak Anda dengan cara kuno. Itu berarti bahwa ketika masyarakat mengatakan setiap anak dalam keluarga harus memiliki kamar sendiri, maka anak-anak Anda harus belajar untuk berbagi kamar dengan saudara kandungnya. Itu berarti bahwa ketika anak-anak Anda bertanya apakah keluarga itu boleh makan di luar, Anda menyiapkan sandwich di rumah dan pergi ke taman untuk piknik sebagai gantinya. Dan jika anak-anak Anda memohon untuk mendapatkan mainan atau permainan tertentu, maka itu berarti Anda menemukan tugas-tugas yang tidak biasa di sekitar rumah—seperti menyedot debu furnitur atau merapikan garasi—yang dengan mengerjakan tugas-tugas itu mereka akan mendapatkan uang untuk membeli barang yang mereka inginkan.
Dengan cara ini, anak-anak tidak kehilangan hal-hal baik dalam hidup; sebaliknya, mereka akan belajar untuk menunggu, bekerja keras, dan menemukan jalan lain selain jalan yang normal untuk merasakan kesenangan. Dan dengan melakukan itu, mereka juga belajar untuk menghitung berkat-berkat mereka dan menemukan kegembiraan dan kesenangan dalam hal-hal sederhana dalam hidup—seperti kru Peanuts. (theepochtimes/annie holmquist/feb)
Lebih banyak artikel Keluarga, silahkan klik di sini.
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI