Wisata

Kemegahan Machu Picchu, Sekilas Sejarah dan Kesan

Machu Picchu (Foto: Nad Hemnani/Unsplash)
Machu Picchu (Foto: Nad Hemnani/Unsplash)

Inca adalah kekaisaran yang paling berjaya di benua Amerika Selatan pada masa sebelum kedatangan Columbus. Pusat pemerintahan dan militernya terletak di sekitar Kota Cusco yang sekarang, di Pegunungan Andes, Peru.

Kekaisaran Inca mulai berkembang sejak awal abad ke-13, dan berakhir setelah raja terakhirnya Túpac Amaru dieksekusi tentara conquistador Spanyol pada tahun 1572. Ditambah merebaknya wabah penyakit-penyakit baru saat itu seperti cacar, typhus, influenza, dan campak yang dibawa para pendatang, maka peradaban satu dinasti besar inipun berakhir dengan tragis.

Pada masa kejayaannya, sejak 1430-an hingga seratus tahun setelahnya, Kekaisaran Inca menguasai hampir seluruh wilayah barat dari Amerika Selatan, membangun banyak pemukiman, pusat pertanian dan jaringan jalan di sepanjang Pegunungan Andes. Pada masa itu wilayahnya meliputi Peru, Bolivia, sebagian dari Equador, sebagian besar dari Cili yang sekarang, dan sebagian kecil wilayah Kolumbia. Bahasa orang Inca adalah Quechua, yang hingga kini masih umum dipakai oleh penduduk asli di Bolivia dan Peru.

Salah satu peninggalan Kekaisaran Inca yang termegah dan terkonservasi dengan baik adalah Machu Picchu (bermakna gunung/piramid tua), sebuah struktur bangunan batu di lereng gunung dengan ketinggian sekitar 2200-2400 meter di atas permukaan laut, yang dibangun sekitar tahun 1450-an semasa kekuasaan Pachacutec.

Hewan Llama berkeliaran bebas di sekitar Machu Picchu (Foto: Yuvy Dhaliah/Unsplash)
Hewan Llama berkeliaran bebas di sekitar Machu Picchu (Foto: Yuvy Dhaliah/Unsplash)

Kompleks tersebut terbagi menjadi tiga bagian: kuil-kuil untuk ritual keagamaan, pemukiman dan agrikultur. Di lokasi terdapat lebih dari 600 teras berjenjang (terasering); lebih dari 170 bangunan, ribuan anak tangga dan beberapa kuil termasuk kuil matahari (untuk menghormati dewa matahari, Inti) yang sekaligus menjadi bangunan terpenting di kompleks ini. Keberadaan ratusan teras berjenjang tersebut diduga untuk agrikultur, segera mengingatkan kita pada sistem terasering sawah di Bali, namun struktur terasering di Machu Picchu terbuat dari bebatuan yang tersusun rapi dan keberadaannya dianggap telah melindungi kompleks dari ancaman erosi dan longsor selama hampir 600 tahun terakhir.

Yang mengherankan adalah: orang Inca ini ternyata tidak mengenal gerobak roda, atau gerobak yang ditarik hewan, juga tidak mengenal perkakas dari besi atau baja. Material batu untuk membangun struktur di kompleks tersebut memang diambil dari area sekitarnya, namun tetap merupakan seni untuk mentransportasi bongkahan batu-batu besar dengan bebatuan pula (diduga mereka menggunakan bebatuan yang berbentuk oval atau bulat sebagai “roda/alat transportasi”), kemudian membentuk dan menyusun batu-batu tersebut dengan apiknya.

Faktanya bagi kita yang awam adalah, orang Inca adalah master besar bila terkait konstruksi bebatuan, bahkan mereka telah membangun jaringan jalan-jalan dari bebatuan yang bagus. Satu hal lagi, jika diperhatikan dari sisi arsitektur – mereka tidak menggunakan struktur arch (lengkungan, busur), perhatikan saja bentuk pintu, jendela pada kompleks itu. Barangkali bukan tidak terpikir, tapi ini erat terkait dengan material bangunan dan perkakas yang ada.

Salah satu pintu di Machu Picchu (Foto: Nurtantio/NTD Indonesia)
Salah satu pintu di Machu Picchu (Foto: Nurtantio/NTD Indonesia)

Kemudian, apakah Machu Picchu merupakan rumah peristirahatan bagi raja, benteng atau pusat agrikultur – hal ini masih menjadi perdebatan di antara para arkeolog. Namun tercatat, kompleks ini hanya digunakan tidak lebih dari seabad, kemudian ditinggalkan penghuninya setelah wabah cacar berjangkit.  

Beruntungnya, conquistadores dari Spanyol tidak pernah mengetahui lokasinya (!) sehingga situs ini tidak menjadi korban penjarahan. Machu Picchu baru ditemukan kembali pada 1911 (dalam kondisi telah tertutup hutan) dan pada 1983 dideklarasikan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO dan belakangan juga masuk sebagai satu dari New7Wonders of the World bersama Great Wall di Tiongkok, Chichen Itza di Meksiko, Taj Mahal di India, Petra di Jordania dan lainnya.

Tidaklah mengherankan, jika kita amati apalagi dari sisi atas menatap ke seluruh struktur bangunan yang memenuhi lereng gunung, sangat mengesankan, betapa tidak – bangunan-bangunan itu sungguh ditata secara sangat harmonis dengan lingkungan alamnya.

Keesokannya kembali ke Kota Cusco, di sebuah cafe kami memesan Inca Cola (soft drink yang amat populer di Peru, Bolivia – konon mengalahkan Coca Cola), namun nama “Inca” rasanya terlalu sayang untuk sekadar dijadikan merek soft drink, sementara di latar belakang Los Kjarkas melantunkan salah satu hit-nya ‘Tiempo al Tiempo’ (Waktu ke Waktu), judul lagu itu entah mengapa terasa pas.

Satu kekaisaran berlalu, satu masa kejayaan berakhir dengan keruntuhan tragis, namun masih meninggalkan satu kompleks demikian megah yang bisa merekonstruksi ulang kejayaan masa lalu.

Hidup bagaikan hembusan angin, semilir dingin sesaat, datang dan pergi…

(ntdindonesia.com/karnadi nurtantio)