Budaya

Bodhisattva Avalokitesvara | Legenda Xiulian Kwan Im (16-Tamat)

Bodhisattva Avalokitesvara

Berikut adalah cerita legenda putri dari Raja Miao Zhuang, yaitu putri Miao Shan, yang berhasil kultivasi menjadi Bodhisattva Avalokitesvara (Guan Yin / Kwan Im), dikutip dari catatan literatur Dinasti Qing. Dengan sakral dijadikan sebagai referensi.

(Baca Bagian 1 disini)

********

Bab 16: Bebas berkultivasi Bersih Murni di Laut Selatan, Membebaskan Daratan Tengah dari Penderitaan.

Ceritanya Bodhisattva Guanshiyin, memperoleh buah sejati duduk di atas Takhta Teratai, setelah menyelamatkan Raja Miao Zhuang dan lainnya, tinggal bersama dengan Bocah Bajik dan Gadis Naga Harum di Hutan bambu ungu, bebas tanpa ikatan duniawi.

Pada suatu hari, ada seorang biksu bernama Sramana Badra, berasal dari Negeri Buddhis di Barat yang telah menerima sumpah Bodhisattva, bertekad sekuat tenaga untuk menyebarkan ajaran di Tanah Timur. Dia telah menghabiskan jerih payah beberapa tahun, barulah akhirnya tiba di Tanah Timur, berkelana ke segala tempat, dan menyebarkan Fa Buddha kepada semua makhluk. Namun karena hambatan bahasa, penduduk Tanah Timur tidak mengerti apa yang dia katakan, sehingga tidak ada yang mempedulikan dia; selain itu pada saat itu masyarakat di Tanah Timur sama sekali belum mengenal ajaran Buddha, dan biksu dipandang sebagai penganut klenik ajaran sesat, meski bahasa bisa dipahami, juga tetap tidak akan ada orang yang percaya perkataan dia. Karena kedua alasan ini, meskipun dia telah mengelilingi seluruh tempat di Daratan Tengah, pada akhirnya selalu menerima ejekan orang di mana-mana. Sekarang dia memutuskan untuk kembali ke Barat, di perjalanan pulang sambil mengunjungi gunung-gunung terkenal, suatu hari kebetulan berada di dekat Laut Selatan, mendengar bahwa Bodhisattva Guanshiyin berada di sana, dengan tekad yang tulus berkunjung, untuk meminta petunjuk dan bimbingan.

Melihat tekad dia yang begitu besar, Bodhisattva pun bertanya kepada dia tentang situasi di Tanah Timur.

Sramana Badra menjawab: “Tidak patut diceritakan, tidak patut diceritakan! Di sana, peperangan tak berkesudahan, bencana melanda, hati manusia penuh kejahatan, persaingan sering terjadi. Ketika hamba mengajarkan Fa kepada mereka, sama sekali tidak bisa Sadar [Wu], malah menganggap hamba sebagai orang jahat, dan di mana-mana mendapat ejekan mereka. Hamba tumbuh dengan menerima hal-hal demikian, ya anggap lewat begitu saja, hanya saja merasa kasihan kepada semua makhluk yang terjebak dalam kegelapan, bencana iblis di depan mata masih tersesat tak kunjung Sadar [Wu], ingin menyelamatkan mereka juga tak berdaya, hanya bisa kembali ke Barat memohon solusi Fa dari Rulai [Tathagata], lalu pergi ke Timur lagi untuk memberi isyarat pencerahan kepada mereka. Ketika melewati tempat ini, khusus ingin berkunjung dan memberi hormat bersujud kepada Bodhisattva, berharap Bodhisattva berbelas kasih, menggunakan daya Fa yang besar untuk mengubah para makhluk yang tersesat ini, agar mereka dapat terbebas dari lautan penderitaan, juga supaya Fa Buddha dapat tersebar luas.”

Bodhisattva Guanshiyin berkata: “Shanzai, Shanzai! Ini karena upaya anda belum cukup, keterbatasan pemahaman bahasa. Sekarang anda kembalilah dan memberi hormat kepada Rulai [Tathagata], di lain waktu pergilah ke Timur lagi, Saya yang bertekad mencari suara penderitaan, karena telah mengetahui tentang situasi ini, tidak boleh hanya duduk melihat saja, saya akan pergi ke Daratan Tengah.

Setelah Sramana Badra berterima kasih atas belas kasih Bodhisattva, dia pun pergi ke Barat. Bodhisattva Guanshiyin kemudian memerintahkan Bocah Bajik dan Gadis Naga Harum untuk menjaga dengan baik Gunung Lingshan, sementara Dia sendiri berubah wujud menjadi seorang wanita tua dan meninggalkan Laut Selatan, melakukan perjalanan menuju ke Daratan Tengah.

Bodhisattva Guanshiyin berubah wujud menjadi seorang pengemis wanita, mengemis dari pintu ke pintu dengan mangkuk di tangan, berbaur dengan kelompok rakyat kalangan bawah. Dia melihat bahwa adat istiadat di setiap tempat berbeda-beda, mereka yang baik hati memang ada, namun mayoritas adalah yang jahat dan bodoh. Perihal pria kelas tinggi, pada dasarnya mendapat ajaran orang suci, mengerti tentang etika dan moralitas, tetapi para perempuan malah tidak demikian. Mereka dapat dibagi menjadi dua lapisan atas dan bawah, wanita dari kaum bangsawan, tentunya terlahir dari keluarga terhormat, umumnya memiliki pengetahuan tentang sastra, tetapi dagu selalu menghadap ke atas, hidup dalam kemewahan, menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan banyak sekali karma buruk, tak terhindarkan dari derita siklus reinkarnasi, sedangkan pria dan wanita bodoh di lapisan bawah, sama sekali belum pernah mendengar ajaran orang suci, segala tindak tanduk mereka, tentu saja lebih-lebih tidak perlu dibahas lagi. Tidak patuh dan durhaka pada orang tua, merampok dan membunuh, perbuatan mana yang tidak dilakukan? Ini karena mereka tidak mengenal pembalasan buah karma, ini jauh lebih menyedihkan.

Bodhisattva Guanshiyin maha belas kasih, memutuskan untuk pertama-tama mengajarkan Fa kepada rakyat lapis bawah. Ketika Dia mengajar Fa sepanjang jalan hingga wilayah tengah Tiongkok, dia memilih sebuah pondok batu di Gunung Taishi sebagai tempat untuk menyatakan diri, di malam hari Dia menampilkan diri di mimpi penduduk setempat, berkata: “Besok Bodhisattva Guanshiyin akan melewati tempat ini, untuk memberi isyarat pencerahan kepada orang-orang yang berjodoh dengan Fa, menyelamatkan semua dari laut penderitaan, kalian semua harus menanti dengan sungguh-sungguh, jangan lewatkan kesempatan ini. Dapat bertemu atau tidak, semuanya tergantung pada ketulusan hati kalian, asalkan menanti dengan tulus, tentu saja akan bertemu.” Setelah berkata demikian Dia menampakkan wujud agung-Nya, lama sekali sampai akhirnya menghilang.

Keesokan harinya, penduduk setempat saling berdiskusi, tentang mimpi semalam yang semua isinya sama, semuanya merasa heran. Diskusi satu sama lain, tak lain hanya bertujuan untuk menunggu kedatangan Bodhisattva dengan penuh harapan. Mereka tahu jelas bahwa Bodhisattva sama sekali tidak akan menunjukkan wujud aslinya kepada orang-orang, tetapi mereka juga tidak tahu dengan pasti sosok apa yang akan diwujudkan Bodhisattva kali ini untuk memberi pencerahan kepada semua makhluk. Karena itu, banyak perdebatan muncul di antara mereka, karena mereka tidak bisa mengenali Bodhisattva, setiap kali mereka melihat seseorang yang tampak asing, langsung dianggap sebagai Bodhisattva, semua orang mengelilingi memberi penghormatan kepadanya, hal ini acap kali membuat kebingungan bagi orang yang diberi penghormatan tersebut, sampai kedua belah pihak menjelaskan kebenarannya, semua berlalu saling tertawa. Kejadian semacam itu terus berlanjut selama beberapa hari, menyebabkan banyak kesalahpahaman, karena Bodhisattva masih saja belum muncul, malah menyebabkan keraguan di hati semua orang semakin bertumpuk, walau bertemu dengan orang yang tampak asing, juga tidak berani lagi sembarang memberi hormat.

Saat itu, Bodhisattva Guanshiyin masih berwujud sebagai seorang wanita tua yang miskin, turun dari gunung dan tibalah di sebuah kota, meminta makan minum di sepanjang jalan, namun semua orang tidak ada yang memperhatikannya.

Tahun itu sedang terjadi kekeringan parah, sejak awal musim panas, sudah lebih dari empat puluh hari tidak turun hujan, dan tanaman di sawah mulai layu. Para petani telah bekerja keras, mengairi tanaman mereka siang malam, tetapi pada akhirnya sia-sia, nampaknya bencana sudah terjadi. Jika Tuan Langit tidak menurunkan hujan lagi, panen akan gagal, para petani desa menjadi cemas dan khawatir, jangankan mereka, biar orang kota pun, juga khawatir dengan musim kekeringan ini.

Ini sebabnya ketika Bodhisattva Guanshiyin memegang mangkuk di tangan, meminta makanan dari orang-orang, semua orang mengatakan hal sama: “Tuan Langit demikian kering, panen tahun ini sudah tiada harapan, bahkan saya sendiri khawatir dengan kesulitan yang akan datang, bagaimana mungkin saya memiliki makanan lebih untuk diberikan kepada nenek tua seperti anda?”

Bodhisattva Guanshiyin menghela napas panjang dan berkata, “Kekeringan air walau dibilang adalah bencana Langit, namun pada akhirnya adalah berasal dari manusia itu sendiri, jika kalian penduduk di wilayah ini, menghormati Langit dan Bumi, melakukan hal Bajik di mana-mana, mengurangi kekerasan, dan mengabdikan diri ke Sang Buddha, bagaimana mungkin sang Langit menimpakan bencana ini agar kalian semua menderita? Saya seorang wanita tua yang miskin, telah berjalan separuh hari ini, telah mengemis puluhan rumah, namun tidak berhasil menerima satu butir beras pun, ini menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini, semuanya tidak memiliki hati yang Bajik. Jika manusia tidak memiliki hati yang Bajik, lalu menerima bencana Langit kekeringan air ini, siapa bilang bahwa itu tidak patut?”

Kala itu, ada seorang bapak tua bernama Liu Shixian, setelah mendengar perkataan Bodhisattva Guanshiyin, dalam hati merasa tergerak, diam-diam berpikir, nenek tua ini jangan-jangan adalah perwujudan dari Bodhisattva? Tunggu saya bincang-bincang dulu dengannya.

Dia pun melangkah maju mengatupkan tangan memberi hormat: “Nenek tua perkataan anda sungguh bijak, namun menurut perkataan nenek, karena penduduk di sini tidak pernah mengumpulkan kebajikan di masa lalu, sehingga muncullah kekeringan di hari ini, anggap saja semua orang mulai sekarang memperbaiki diri mulai dari awal, bencana kekeringan hari ini juga akhirnya tidak bisa tertolong!”

Bodhisattva menjawab: “Ini sama sekali tidak demikian. Hati Langit paling penyayang dan penuh kasih, hati untuk menghadiahi kebajikan tiga kali lipat melampaui hati untuk menghukum kejahatan, asalkan manusia dengan hati tulus menyesali dosanya, Tuan Langit tidak mungkin tidak menghiraukannya. Selama penduduk di wilayah ini, bersedia dari hari ini, bersumpah untuk memperbaiki diri mulai dari awal, sepenuh hati melakukan kebajikan, maka kekeringan di depan mata ini, juga masih bisa diselamatkan.”

Setelah Liu Shixian mendengarkan kata-kata tersebut, tanpa ragu langsung bertindak, berlutut memberi hormat: “Terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Bodhisattva Guanshiyin, mata duniawi hamba, tidak mengenal wujud belas kasih, hampir melewatkan kesempatan ini. Beruntung sekarang mendengar ajaran Fa, hati langsung terbuka, memohon Bodhisattva maha belas kasih, memancarkan daya Fa secara luas, menurunkan air hujan, menolong kami dari bencana kekeringan, hamba berjanji akan membangun kuil untuk menghormati Bodhisattva dan menasihati mereka yang bodoh keras kepala, agar mereka berubah hatinya ke arah kebajikan, bersama-sama kembali kepada-Nya. Mohon kepada Bodhisattva untuk berbelas kasih dan memberi kemudahan!” Sambil berkata demikian, terus-menerus kowtow.

Bodhisattva berkata: “Marga Liu, selembar hati tulus anda sangat langka, anda memohon bantuan untuk semua orang, ini menunjukkan hati anda yang tidak egois, bagaimana saya bisa menolak permintaan anda? Hanya saja saya lihat penduduk di wilayah ini, tingkat kebodohan dan keras kepalanya sangat mendalam, besok siang tengah hari, saya akan menampakkan diri, menggunakan daya Fa untuk membawa hujan lebat, agar mereka menyaksikan langsung bahwa Fa Buddha tiada tepi, ini akan memperkuat keyakinan mereka, barulah anda menasihati dengan Bajik, dengan demikian mereka akan lebih mudah berubah.”

Liu Shixian memberi hormat lagi dan ketika bangkit berdiri, Bodhisattva sudah menghilang pergi. Dia kemudian menceritakan pengalamannya bertemu Bodhisattva kepada orang-orang. Semua orang timbul keraguan, dan berkata, “Bodhisattva menampakkan wujud di siang bolong, kenapa hanya kamu yang ketemu, kenapa kami malah tidak lihat?”

Liu Shixian menjawab: “Mungkin saja semuanya juga melihatnya, hanya saja mata duniawi ini tidak dapat mengenalinya. Nenek pengemis tadi yang meminta sedekah dengan membawa mangkuk, itulah perwujudan dari Bodhisattva!”

Setelah semua orang mendengar itu, sadar bahwa tadi sungguh benar telah melihatnya, tetapi tidak ada siapa pun yang tahu bahwa nenek tua ini, sebenarnya adalah Bodhisattva Guanshiyin! Hasilnya ada yang menyalahi diri sendiri bahwa memiliki mata tapi tidak bisa melihat besarnya Gunung Taishan, karena melewatkan kesempatan langka di depan mata, sementara yang lain menyesal diri karena belum pernah memberi sedekah, sehingga tidak ada ikatan jodoh karma baik. Kesedihan semua orang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Pada saat itu Liu Shixian kembali berbicara: “Bodhisattva bertujuan membebaskan penderitaan dengan Belas Kasih, semua hal ini termasuk hal-hal kecil, yang tidak akan menambah dosa, asalkan di kemudian hari beriman dengan hati tulus itu sudah benar. Selain itu Bodhisattva menetapkan besok siang tengah hari, akan menampakkan wujud agungnya, menurunkan air hujan, kalian semua pada saat itu dapat menyaksikan wujud belas kasih, dan bersama-sama merasakan berkah hujan!”

Setelah mendengar ucapan itu, semua orang menjadi senang. Sejak itu kabar tersebut menyebar dari mulut ke mulut, dan dalam sekejap, seluruh kota mengetahuinya. Berita ini tersebar dari 1 menjadi 10, 10 menjadi 100, saat malam tiba, 4 desa 8 kota sekitar sudah mengetahui semuanya, setelah mendengar berita semacam ini, tak ada satu pun yang tidak merasa gembira.

Hingga pagi hari berikutnya, para petani berhenti membajak, wanita berhenti merajut, pedagang berhenti berdagang, semua orang menyalakan dupa dan lilin, dengan tulus memberi hormat, khusus menanti hingga siang tengah hari, untuk menyaksikan Bodhisattva Guanshiyin menampilkan Fashen. Tak peduli itu tua-muda-pria-wanita, satu per satu mendongak ke atas menatap langit, bahkan mata pun tidak berani banyak berkedip.

Saat detik itu tiba, terlihat dari puncak Gunung Taishi muncul awan putih perlahan-lahan, bertahap membesar dan meluas, semakin lama semakin melebar. Tiba-tiba terlihat di tengah-tengah awan putih, langit terbelah, di atas puncak gunung, muncul sosok bertubuh emas setinggi enam depa, mengenakan mahkota kain sutra, tubuh dibalut jubah kasaya, di tangan memegang vas botol bening dari giok putih, dalam botol berisi embun manis hujan dan ranting willow, dua kaki telanjang, dan berdiri di atas batu yang terang benderang.

Melihat pemandangan ini, semua orang bersamaan bersujud memberi hormat, memanggil nama Bodhisattva Guanshiyin, dalam hati dengan tulus berdoa, menyatakan niat untuk menerima perlindungan di bawah-Nya. Setelah penghormatan selesai, terlihat tangan Bodhisattva mengambil ranting willow, dicelupkan dalam embun manis, dan dipercikan ke segala penjuru di tempat ada sawah dan tanaman. Ajaibnya, dalam sekejap awan dari empat penjuru berkumpul, hujan lebat pun turun seperti air terjun, berlangsung selama setengah jam, sebelum akhirnya hujan reda, langit kembali cerah, dan wujud Fa dari Bodhisattva sudah tidak terlihat lagi.

Sejak saat itu, semua penduduk sungguh-sungguh menghormati dan percaya pada Fa Buddha. Liu Shixian menyumbangkan kekayaannya untuk membangun sebuah kuil di Gunung Taishan tempat Bodhisatvva mewujudkan diri, mendirikan patung besar Bodhisattva untuk disembah, gua batu tempat Bodhisattva beristirahat, juga diganti nama menjadi Gua Guan Yin, dan masih ada hingga saat ini.

(Tamat)