Pada suatu musim panas, saya mengikuti tur kelompok ke Jepang. Pemandu kami, Tanaka, membawa kami ke pantai di Hokkaido saat air laut surut. Di sana, banyak orang yang sibuk memungut ikan yang terdampar. Karena penasaran, kami pun bergabung dengan mereka, menangkap ikan salmon dan tuna hingga memenuhi satu ember penuh.
Sambil duduk dan beristirahat, kami berdiskusi untuk memasak ikan-ikan tersebut menjadi hidangan yang lezat. Tiba-tiba, Tanaka menyela dengan berkata: “Apakah menurut Anda ikan-ikan ini seperti yang ada di menu restoran? Ikan-ikan ini tidak ingin mendarat; air laut mendamparkan mereka. Apakah Anda tega memakannya? Mengapa tidak membiarkan mereka kembali ke laut?”
Saya menatap Tanaka, bingung. “Bukankah semua ikan adalah ikan? Apa bedanya?” Tanaka menghela napas dan menjelaskan: “Air laut yang surut meninggalkan ikan-ikan ini – mereka hidup dalam kesulitan. Memakan mereka sama saja dengan mengambil keuntungan dari penderitaan mereka. Mengembalikan mereka ke lautan adalah tindakan kebaikan dan kasih sayang.”
Menyadari bahwa memakan ikan-ikan yang terdampar ini berarti memanfaatkan kemalangan mereka, kami semua mengambil ember dan dengan hati-hati mengembalikan setiap ikan ke laut. Melihat mereka berenang dengan gembira, rasa bahagia yang mendalam muncul dalam diri kami masing-masing.
Malam itu, Tanaka mendatangi kami dengan sebuah permintaan. Seorang teman yang memiliki toko akan menghentikan usahanya (menutup tokonya secara permanen) keesokan harinya, dan dia berharap kami bisa berkunjung dan membantu dengan membeli beberapa barang. Berpikir pasti akan ada obral tutup toko, kami setuju, dan berharap bisa mendapatkan barang murah.Kami bertanya kepada Tanaka tentang barang dagangan di toko tersebut. Semua orang menjadi bersemangat ketika dia menyebutkan bahwa toko tersebut menjual produk lokal, kosmetik, elektronik, dan perhiasan.
Toko itu dipadati orang-orang, dan antrian keranjang belanja yang siap untuk pembayaran. Kami ikut masuk ke dalam, namun segera menyadari bahwa tidak ada diskon – harganya sama seperti di tempat lain. Kekecewaan mulai muncul, dan kami masing-masing hanya membeli satu atau dua barang kecil sebelum pergi. Setengah jam kemudian, Tanaka keluar dengan dua tas besar berisi barang belanjaan. Kami tidak bisa menyembunyikan kekecewaan kami: “Mengapa tidak ada diskon?”
Tanaka menatap kami dengan tatapan kosong dan menjawab, “Semua yang ada di sini asli. Mengapa harus didiskon?” Tidak yakin bagaimana cara menjawabnya, kami mengalihkan pertanyaannya: “Jika harganya sama seperti di tempat lain, mengapa Anda dan orang lain datang ke sini dan membeli begitu banyak?”
Tanaka tersenyum dan berkata: “Kami datang untuk memberi tahu pemilik toko bahwa dia cocok untuk menjalankan bisnis. Mungkin, dengan sedikit dukungan, dia akan menemukan kepercayaan diri untuk mencoba lagi di tempat lain.” Kami saling bertukar pandang, akhirnya memahami bahwa daripada mengharapkan obral barang, kami seharusnya membeli lebih banyak untuk memberikan dukungan, semangat, kehangatan, dan harapan kepada pemilik toko.
Surutnya air laut membuat ikan-ikan berjuang untuk bertahan hidup; toko yang tutup menandakan pemilik bisnis sedang mengalami kesulitan. Ketika menjumpai orang yang mengalami kesulitan, apakah kita akan mengambil keuntungan atau mengulurkan tangan membantu? Dengan melepaskan ikan-ikan yang terdampar kembali ke lautan dan membantu pemilik toko yang membutuhkan, Tanaka mengajarkan kita tentang kekuatan welas asih dan mengingatkan kita bahwa selama “air surut” dalam hidup, ketika tidak ada yang tersisa untuk disembunyikan, kemanusiaan kita yang sebenarnya akan bersinar-mari kita berjuang untuk melakukan yang lebih baik lagi pada saat-saat seperti ini. (nspirement)
Lebih banyak artikel Budi Pekerti, silahkan klik di sini. Video, silahkan klik di sini
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI