Seiring bertambahnya usia, peran antara orang tua dan anak sering kali terbalik. Ibu saya, yang kini sudah tua dan mendambakan kebersamaan, sering menelepon saya dengan pertanyaan yang sama: “Kapan kamu pulang?” Karena jarak yang sangat jauh dan tuntutan pekerjaan serta keluarga, saya merasa semakin sulit untuk melakukan perjalanan. Setiap kali saya menjelaskan, pendengarannya tidak berfungsi, dan ia bertanya lagi dengan nada penuh harap yang sama.
Rasa bersalah karena jarak
Setelah beberapa kali berkomunikasi seperti itu, kesabaran saya menipis, dan saya membentaknya melalui telepon. Ia akhirnya mengerti dan menutup telepon dengan perlahan. Namun beberapa hari kemudian, ia menelepon lagi, suaranya kini malu-malu, masih menanyakan pertanyaan yang sama. Kegigihannya melembutkan hati saya, dan saya ragu-ragu sebelum menjawab.
Menyadari perubahan nada bicara saya, ia mulai ceria dan mulai menggambarkan bunga melati yang sedang mekar mewangi dan semangka yang matang di halaman belakang rumah, mendesak saya untuk berkunjung. Saya ragu-ragu, dengan alasan jadwal saya yang padat. Di saat putus asa, ia bercanda menyarankan saya untuk memberi tahu bos saya bahwa ia mengidap kanker dan hanya punya waktu enam bulan lagi untuk hidup. Saya memarahinya karena bicara seperti itu, tetapi itu mengingatkan saya pada kejenakaan masa kecil saya ketika saya berpura-pura sakit untuk membolos sekolah, tetapi ketahuan dan dimarahi olehnya.
Janji dan rencana yang gagal
Perbincangan ini terus berlanjut sampai saya berjanji untuk berkunjung bulan depan. Kegembiraannya terasa nyata, tetapi hidup menghalangi, dan saya tidak dapat melakukan perjalanan itu. Ketika saya menelepon untuk meminta maaf, suaranya lelah, tetapi penuh pengertian: “Saya tahu kamu sibuk,” katanya. Namun, panggilannya semakin sering, mendesak saya untuk pulang mengambil buah anggur dan pir yang ditanamnya.
Saya mengabaikannya, mengatakan saya bisa membelinya di mana saja, tetapi ia tidak terkesan. Saya segera menambahkan bahwa tidak ada yang dapat menandingi hasil tanamannya, dan dia tertawa bangga. Pada suatu Sabtu yang terik, saat saya keluar untuk membeli es krim, saya tiba-tiba melihatnya membawa keranjang dan tas yang berat di jalan. Dia telah menempuh perjalanan untuk menemui saya, membawa buah-buahan yang telah dipetiknya dengan penuh kasih sayang.
Perjalanan seorang ibu
Ibu saya, yang belum pernah bepergian jauh, bertahan dalam perjalanan bus yang panjang dan tidak nyaman untuk membawa saya merasakan suasana kampung halaman. Tangannya lelah, diperban, dan memar, tetapi dia berseri-seri saat menawarkan buah-buahan itu kepada saya. Saya tidak dapat membayangkan perjalanan yang dia lakukan, tetapi saya menyadari bahwa di mana ada seorang ibu, di situ ada keajaiban.
Dia hanya tinggal selama tiga hari, khawatir akan menjadi beban. Dia diam-diam memesan tiket pulang tanpa keributan. Seminggu kemudian, dia menelepon lagi, mengatakan bahwa dia merindukanku. Saya tertawa: “Bu, saya akan pulang, harap bersabar!” Keesokan harinya, bibi saya menelepon dengan berita bahwa ibu saya sakit. Karena panik, saya bergegas pulang, berdoa bahwa itu adalah salah satu tipuannya untuk menemui saya.
Suka Duka Reuni
Saat saya tiba, dia menyambut saya dengan senyuman, dan saya memarahinya karena membuat saya khawatir. Dia senang melihat saya. Kami menghabiskan waktu bersama, dan saya mengkritik masakannya dengan bercanda, karena tahu dia akan memaksa saya makan lebih banyak jika saya memujinya. Itu adalah permainan kecil kami, dan saya menghargainya.
Saya bertanya mengapa dia tidak mau tinggal bersama saya di kota, tetapi dia berkata dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kota. Tak lama kemudian, saya harus pergi lagi, dan dia memohon agar saya tinggal satu hari lagi, sambil menjanjikan hidangan istimewa. Dia telah berusaha keras untuk menyiapkannya, tetapi ketika disajikan, jelas bahwa penglihatannya telah menurun. Hidangannya tidak bisa dimakan, tetapi usahanya sangat menyentuh saya.
Perpisahan terakhir
Saat saya pergi, dia mengantar saya ke bus, memegang lengan saya dan mengingatkan saya untuk berhati-hati. Saat bus itu menjauh, dia mengejarnya, meneriakkan cinta dan pengertiannya. Panggilan teleponnya semakin jarang, dipenuhi dengan cerita-cerita bahagia tentang rumah. Di akhir tahun, bibiku menelepon lagi, mengatakan bahwa ibuku sakit. Seperti yang baru saja saya bicarakan, saya tidak percaya, tetapi saya pulang ke rumah dengan membawa makanan kesukaannya.
Saat saya tiba, dia tidak ada di sana untuk menyambut. Bibiku mengatakan bahwa dia telah meninggal dengan tenang, setelah didiagnosis menderita kanker beberapa bulan sebelumnya. Dia merahasiakannya, mengatur semuanya sendiri. Saat itu saya menyadari bahwa panggilan teleponnya adalah caranya menghargai waktu yang tersisa bersamaku.
Kasih sayang abadi seorang ibu
Di hari-hari terakhirnya, ia berbagi cerita tentang bunga dan taman, meninggalkan warisan kasih sayang dan kehangatan. Kini saya mengerti bahwa seorang ibu tak pernah berhenti menanti anaknya, tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Kasih sayang ibu adalah hal yang konstan di dunia yang terus berubah, dan saya menganggapnya biasa saja.
Ibu, engkaulah yang tak pernah marah padaku, yang selalu menunggu. Saya membiarkanmu menunggu terlalu lama, tetapi kasih sayangmu tetap bersamaku selamanya. (nspirement)
Lebih banyak artikel Budi Pekerti, silahkan klik di sini. Video, silahkan klik di sini
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI