Menjadi marah merayap ke dalam hidup kita ketika segala sesuatunya tidak sesuai dengan keinginan kita – ketika kita dihadapkan pada kekecewaan, ketidaknyamanan, atau frustrasi. Sering kali terlihat lebih mudah untuk menyalahkan orang lain atau tersulut kemarahan, daripada mengambil langkah mundur dan tetap tenang. Namun, seperti yang telah disarankan oleh banyak guru bijak, kemarahan tidak hanya merugikan target kemarahan kita – kemarahan itu merugikan diri kita sendiri. Kita menghukum diri kita sendiri atas kesalahan orang lain dengan memikirkan emosi negatif.
Belajar menangani kemarahan secara positif lebih dari sekadar tanda sopan santun; ini adalah langkah penting menuju kedewasaan dan belas kasih diri. Setiap kali hidup memberikan kita masalah, kita punya pilihan: Kita bisa marah dan membiarkan kemarahan kita membusuk atau menyikapi situasi tersebut secara konstruktif. Ketika kita berulang kali jatuh dalam emosi, dunia kita menjadi lebih kecil, hubungan kita menderita, dan tersakiti.
Namun, mengetahui bahwa kemarahan itu merusak bagi kita tidaklah sama dengan jika mampu mengendalikannya. Kita semua pernah merasakan luapan amarah – terkadang karena masalah yang paling sepele – hanya untuk kemudian meninggalkan penyesalan. Tantangannya adalah belajar untuk mengganti kemarahan kita dengan pengertian, dan salah satu cara yang paling ampuh untuk melakukannya adalah dengan menyadari bahwa tetap tenang dalam menghadapi provokasi adalah tindakan yang sangat menghargai diri sendiri.
Sebuah pelajaran dari biksu senior
Cerita ini tentang seorang wanita yang sering marah karena hal-hal kecil. Karena frustasi dengan emosinya, ia meminta nasihat dari seorang biksu senior. Setelah mendengar pergumulannya, biksu tersebut membimbingnya ke sebuah ruangan yang sunyi dan mengunci pintu di belakangnya. Untuk beberapa saat, dia mengumpat, menuntut untuk dikeluarkan. Ketika biksu itu menolak untuk menanggapi, dia memohon, tetapi tidak berhasil.
Akhirnya, dia terdiam. Barulah kemudian biksu itu muncul dan bertanya: “Apakah Anda masih marah?” Marah dengan keadaannya, wanita itu menangis, “Saya marah pada diri saya sendiri – apa yang saya lakukan di tempat yang mengerikan ini?” Biksu itu menjawab, “Bagaimana mungkin seseorang yang menolak untuk memaafkan dirinya sendiri dapat menemukan kedamaian pikiran?” Setelah itu, ia pergi lagi.
Beberapa waktu kemudian, ia kembali dan bertanya lagi: “Apakah kamu masih marah?” Wanita itu menghela napas: “Tidak, saya tidak marah.” Namun, dengan segera, ia mengakui bahwa ia tidak dapat menahan rasa marahnya. Bhikkhu itu pun pergi meninggalkannya lagi.
Ketika dia kembali untuk ketiga kalinya, dia berkata: “Saya tidak marah lagi karena tidak ada gunanya marah.” Biksu itu menggelengkan kepalanya dan berkata: “Anda masih menghitung apakah itu layak atau tidak. Itu berarti Anda masih memiliki akar kemarahan di dalam diri Anda.”
Saat matahari terbenam, wanita itu bertanya: “Guru, apa sebenarnya kemarahan itu?” Sebagai jawabannya, biksu itu menuangkan secangkir tehnya ke tanah. Wanita itu menatap teh yang tumpah, dan pada saat itu, dia mendapatkan pencerahan. Ia menyadari bahwa menyimpan kemarahan sama sia-sianya dengan mencoba mengumpulkan teh yang tumpah dari tanah – tidak ada gunanya dan tidak dapat dikembalikan. Air mata memenuhi matanya saat ia berterima kasih kepada bhikkhu tersebut dan meninggalkan ruangan yang sunyi itu dengan kedamaian batin yang baru.
Mengapa Kemarahan Merugikan Kita
Kemarahan mengganggu keseimbangan kita. Ketika kita terperangkap dalam kemarahan, kita seperti mengunci diri kita dalam penjara kita sendiri. Kita berdebat untuk membenarkan posisi kita atau menghukum orang lain, tetapi kita sering kali menghukum diri kita sendiri.
Korban fisik: Kemarahan kronis dapat menyebabkan stres yang tinggi, sulit tidur, dan kekebalan tubuh yang lemah. Tubuh kita protes ketika kita membawa emosi beracun selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Menguras emosi: Kemarahan mempengaruhi suasana hati dan hubungan kita. Ketika kita berpegang teguh pada rasa jengkel, kita mengusir orang-orang yang seharusnya mendukung atau menghibur kita.
Kehilangan perspektif: Saat marah, kita hanya melihat hal-hal negatif saja. Kita memperbesar sebuah masalah yang kecil menjadi masalah yang semakin besar, lupa bahwa hidup juga memiliki banyak yang harus disyukuri.
Membiarkannya pergi
Jadi, bagaimana cara kita berhenti menghukum diri kita sendiri dan memutus siklus kemarahan? Pertama, akan sangat membantu jika kita menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna – termasuk kita. Jika kita dapat belajar untuk memaafkan diri sendiri atas kesalahan kita, kita akan menjadi lebih mampu untuk memberikan pengampunan kepada orang lain.
Kedua, berlatihlah untuk menerima. Beberapa tantangan dalam hidup tidak dapat dihindari. Kita menjaga kejernihan dan pengendalian diri dengan menyambut setiap rintangan dengan tenang daripada bereaksi dengan luapan emosi. Ketiga, renungkanlah kerugian dari kemarahan. Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan tetap marah; sebaliknya, kita akan kehilangan ketenangan pikiran dan membahayakan kesejahteraan kita. Jika seseorang berbuat salah kepada kita, kemarahan kita tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi.
Pada akhirnya, menolak untuk marah bukan berarti mengabaikan ketidakadilan atau berpura-pura tidak merasakan emosi. Ini adalah tentang memilih untuk merespons dengan bijaksana daripada bereaksi secara impulsif. Kedewasaan dan kasih sayang diri tumbuh ketika kita memutuskan untuk tidak memberikan pijakan pada kemarahan.
Lain kali jika ada sesuatu yang tidak beres, berhentilah sejenak. Ambil napas dalam-dalam. Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya ingin menghukum diri saya sendiri karena kesalahan orang lain?” Sering kali jawabannya adalah tidak. Anda membebaskan diri Anda dengan melepaskan kemarahan – sebuah kemenangan yang patut dirayakan. (nspirement)
Lebih banyak artikel Budi Pekerti, silahkan klik di sini. Video, silahkan klik di sini
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI