Di alam liar, kasih sayang induk hewan terwujud dengan cara yang luar biasa. Banyak kisah yang menyentuh hati mengungkap ikatan yang kuat dan pengorbanan tanpa pamrih yang dilakukan hewan untuk anak-anaknya. Narasi-narasi ini tidak hanya menggambarkan empati bawaan yang ada pada hewan, tetapi juga menginspirasi kita untuk mengenali dan menghormati sifat universal kasih sayang ibu pada hewan dan pelajaran yang diberikannya terhadap kemanusiaan kita sendiri.
Seekor sapi tua meminta air
Di daerah gurun di Provinsi Qinghai, air sangat langka. Setiap orang menerima jatah harian hanya 1.500 ml air, yang dibawa oleh tentara dari tempat yang jauh. Air ini harus cukup untuk minum, mencuci, memasak, dan memberi makan ternak. Tanpa air, ternak sangat menderita karena kehausan.
Suatu hari, seekor sapi tua, yang biasanya jinak dan setia, dengan putus asa melepaskan diri dari tambatannya dan berjalan ke jalan gurun, memposisikan dirinya di rute yang dilalui truk air. Dengan tekad yang mencengangkan, sapi itu menunggu selama setengah hari hingga truk air tiba. Para prajurit yang mengemudikan truk itu pernah bertemu dengan hewan yang menghalangi jalan untuk meminta air sebelumnya, tetapi tidak ada yang sekeras kepala sapi ini. Akan tetapi, tentara memiliki peraturan yang ketat: Truk air tidak boleh mengalami “kebocoran” di jalan dan tidak boleh memberikan air dengan cuma-cuma. Meskipun tampak keras, peraturan ini diperlukan karena setiap tetes air adalah bagian dari jatah seseorang.
Kebuntuan antara tentara dan sapi itu berlangsung lama, bahkan menyebabkan kemacetan lalu lintas. Pengemudi yang frustrasi mulai mengumpat, dan beberapa yang tidak sabar mencoba menyalakan bensin untuk menakut-nakuti sapi itu.
Namun, sapi itu berdiri kokoh seperti gunung, tidak tergoyahkan. Akhirnya, pemilik sapi itu tiba. Merasa sangat menyesal, ia mengangkat cambuknya dan memukul sapi tua yang lemah itu dengan keras. Urat-urat sapi itu menonjol karena pukulan itu, tetapi tidak bergerak. Darah dari luka cambuk itu mengotori cambuk, sapi, dan bahkan pasir serta matahari yang terbenam.
Raungan sapi yang menyedihkan, bercampur dengan angin gurun yang dingin, menciptakan pemandangan yang menyayat hati. Para prajurit dan pengemudi semuanya terharu hingga meneteskan air mata. Akhirnya, salah seorang prajurit berkata: “Biarkan saya melanggar aturan sekali ini; saya bersedia menerima hukuman.” Ia mengambil baskom airnya sendiri dan mengambil 1500 ml air dari truk, lalu meletakkannya di depan sapi.
Namun yang mengejutkan semua orang, sapi itu tidak meminum air yang telah diperjuangkannya dengan susah payah. Sebaliknya, sapi itu menghadap matahari terbenam, mengeluarkan suara panjang dan sedih, seolah memanggil seseorang. Di cahaya senja hari, seekor anak sapi muncul dari balik bukit pasir di dekatnya. Sapi yang terluka itu memperhatikan saat anak sapi itu dengan rakus meminum air itu. Sapi itu kemudian dengan penuh kasih menjilati mata anak sapi itu, dan anak sapi itu pun menjilati mata induknya sebagai balasan. Mereka yang menonton dalam diam melihat air mata di mata induk dan anak sapi itu.
Saat sinar matahari terakhir memudar di cakrawala, induk dan anaknya, tanpa menunggu panggilan pemiliknya, memulai perjalanan pulang di tengah keheningan para penonton.
Kisah Induk Berang Berang Laut
Berikut ini adalah kisah nyata lainnya, sebagaimana dikisahkan oleh seorang biarawan.
Sebelum menjadi biarawan, pria itu adalah seorang pemburu yang mengkhususkan diri dalam menangkap berang-berang laut. Suatu hari, ia menangkap berang-berang laut raksasa. Setelah mengulitinya untuk diambil bulunya yang berharga, ia meninggalkan berang-berang yang sekarat itu diantara rerumputan.
Sang pemburu kembali ke tempat yang sama malam itu, tetapi tidak dapat menemukan berang-berang itu. Mengikuti jejak noda darah samar, ia menemukan jalan menuju sebuah gua kecil. Saat mengintip ke dalam, ia terkejut melihat berang-berang laut, yang menahan rasa sakit karena dikuliti, telah merangkak kembali ke sarangnya. Mengapa? Ketika pemburu menyeret berang-berang laut yang kini telah mati itu, ia menemukan dua berang-berang kecil, yang belum dapat membuka mata mereka, tengah mengisap erat puting susu induk mereka yang telah mengering.
Pemandangan ini sangat mengejutkan si pemburu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hewan dapat memiliki naluri keibuan seperti manusia, memikirkan kesejahteraan anak-anaknya bahkan di saat-saat terakhir mereka. Si pemburu merasa sangat tercela, diliputi kesedihan, rasa malu, dan penyesalan diri.
Dia meletakkan pisaunya, berhenti menjadi pemburu, dan menjadi seorang biksu untuk belajar pengembangan spiritual. Bertahun-tahun kemudian, setiap kali biksu ini mengingat kejadian ini, matanya masih berkaca-kaca.
Kisah-kisah ini menyoroti ikatan emosional yang dalam di kerajaan hewan, mengajarkan kita tentang kasih sayang, pengorbanan, dan hubungan mendalam yang melampaui makhluk hidup. Kisah-kisah ini menginspirasi kita untuk melihat melampaui diri kita sendiri dan menghargai kasih sayang dan tekad tanpa pamrih yang ditemukan pada semua makhluk hidup. (nspirement)
Lebih banyak artikel Budi Pekerti, silahkan klik di sini. Video, silahkan klik di sini
Saksikan Shen Yun via streaming di Shen Yun Creations
VIDEO REKOMENDASI