Berikut adalah cerita legenda putri dari Raja Miao Zhuang, yaitu putri Miao Shan, yang berhasil kultivasi menjadi Bodhisattva Avalokitesvara (Guan Yin / Kwan Im), dikutip dari catatan literatur Dinasti Qing. Dengan sakral dijadikan sebagai referensi.
Bab 9 Dengan Pedang Emas memutus Enam Akar, segenap hati naik ke atas Teratai
Konon Putri Miao Shan mendengar kedatangan ayahanda Raja, segera berdiri, dan membawa sekelompok biksuni, satu per satu keluar dari ruang meditasi, bergegas menuju gerbang kaki gunung, bersiap menyambut kedatangan. Sekitar dua jam kemudian, barulah terlihat rombongan berkuda datang membuka jalan, diikuti oleh rombongan pengawal yang berdatangan, sambil mengangkat tungku yang mengeluarkan wewangian, panji kerajaan berkibar tertiup angin, Raja akhirnya tiba, diikuti oleh para menteri. Tiga putri membawa sekelompok biksuni, berlutut di tengah jalan untuk menyambut Raja, sementara para warga yang hadir, semuanya bersujud di tanah di tepi jalan, hening hikmat tanpa kebisingan.
Kereta kuda Raja Miao Zhuang, berhenti di depan aula Raja Langit, turun dari kereta, dan langsung menuju ruang meditasi untuk istirahat, sementara para menteri semua menunggu di luar, tiga putri kembali menyambut Raja, masing-masing melayani di kiri kanan. Setelah duduk sebentar, Raja Miao Zhuang memerintahkan agar semua ruang aula dinyalakan dupa harum dan lilin terang, menunggunya menyalakan dupa terlebih dulu, kemudian mencukur rambut Putri Ketiga. Setelah jawaban siap dari bawahan, tidak lama kemudian, dilaporkan bahwa semua persiapan sudah siap.
Raja Miao Zhuang bangkit berdiri, memimpin tiga putri menuju ke aula utama, diikuti oleh para pejabat sipil dan militer. Mereka menyalakan dupa di aula utama, lalu pergi ke aula Luo Han, dan kemudian ke paviliun Sangharama, semuanya telah menyala dupa. Di tempat-tempat lain seperti Istana Kaisar Langit, para menteri diutus untuk mewakili menyalakan dupa, kemudian mereka kembali ke aula utama kuil.
Sekelompok biksuni telah memukul gong dan menabuh drum, dengan suara lantang melafal sutra Buddha, Raja Miao Zhuang duduk di sudut ruangan.
Putri Miao Yin berdiri di bagian atas, di tangannya memegang nampan batu giok, di dalam nampan terdapat sebilah pisau emas yang tajam; Putri Miao Yuan berdiri di bagian bawah, di tangannya memegang sebuah mangkuk, di dalam mangkuk setengahnya terisi air jernih; Pengasuh dan Yong Lian juga berdiri di kedua sisi, satunya memegang kain kasaya kuning di tangan, satunya lagi memegang sepatu dan topi biksu di tangan; semua orang menahan napas memperhatikan dengan serius, dari mata ke hidung, dari hidung ke hati, hening tanpa suara. Kala itu Putri Ketiga telah pergi ke kamar biksu untuk mengganti pakaian rakyat jelata, bergabung dalam kelompok biksuni, melafalkan pujian Fa bersama-sama.
Pejabat pengamat fenomena Langit memasuki aula, melapor ke Raja bahwa waktu baik sudah tiba, Raja Miao Zhuang pun langsung memerintahkan untuk memanggil Putri Miao Shan memasuki aula, untuk melaksanakan upacara akhbar. Pada saat itu, para pembantu memegang panji panjang secara berpasangan, juga membawa tungku secara berpasangan, mengiring Putri Ketiga dari barisan para biksuni ke depan Raja Miao Zhuang, berlutut dan memberikan penghormatan.
Raja Miao Zhuang mulai berkata: “Anakku! Saat ini aku dan kamu masih sebagai ayah dan anak, namun dalam sekejap kita akan menjadi orang asing satu sama lain! Semoga setelah kamu meninggalkan duniawi menjadi biksuni, kamu akan tekun dalam menjalani kultivasi, memuliakan ajaran Buddha, dan menjadi panutan bagi generasi berikutnya. Lebih-lebih semoga kamu dapat memperoleh Dao [pencerahan] dan buah sejati, tubuh daging menjadi Buddha! Semoga Fa Buddha tersebar luas, menyelamatkan manusia di dunia! Sekarang pergilah ke hadapan Sang Buddha dengan tulus menyatakan niatmu, setelah itu ayah akan membantu mencukur rambutmu.”
Putri kemudian melakukan tiga kali sembah lagi, berdiri, dan berjalan menuju tempat Sang Buddha, bertekuk lutut dan memberi hormat, hening berdoa dengan penuh ketulusan, dan menyampaikan niat hatinya. Setelah itu dia kembali berlutut di hadapan Raja Miao Zhuang, Sang Raja pun mengambil pisau emas dari piring giok putih, memisahkan rambut Putri Miao Shan ke empat arah, membuka bagian atas kepalanya, dan sambil melakukan itu dia memotong rambutnya tiga kali. Melihat ini tak terelakkan sang Raja merasa sedih, dua tetes air mata, mengalir turun dari matanya, pisau di tangan, gemetaran hampir jatuh terlepas, namun tidak ada satu kata pun yang bisa diucapkannya lagi.
Di samping ada seorang biksuni yang sedang mendampingi, melihat situasi seperti ini, khawatir pisau emas tersebut sampai jatuh ke tanah, dia pun langsung maju satu langkah berlutut, mengambil pisau dari tangan Raja Miao Zhuang: Rambut Putri Miao Shan pun, sehelai demi sehelai dicukur, dalam sekejap mata, kepalanya telah menjadi gundul.
Raja Miao Zhuang kemudian mengambil sehelai kain dari tangan Putri Kedua, mencelupkannya ke dalam air suci di dalam mangkuk. Dia pun membersihkan kepala yang sudah gundul itu dengan kain itu, lalu dia sendiri mengambil jubah kasaya, mengenakannya ke tubuh putri, dan memberikannya juga sebuah topi biksuni. Miao Shan selesai mengenakan pakaian itu, melakukan Heshi memberi penghormatan kepada Raja Miao Zhuang, berdiri lalu kembali lagi untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Saat ini dia benar-benar sudah tak ada bedanya dengan para biksuni lainnya.
Raja Miao Zhuang melihat situasi ini, tidak tahan untuk menetap lebih lama, lalu memerintahkan agar kereta disiapkan untuk kembali ke istana, sementara kedua putri mengikuti di belakang. Miao Shan memimpin para biksuni, mengiringi mereka hingga ke luar aula Raja Langit, di mana mereka semua bersujud di tanah memberi hormat.
Miao Shan berkata, “Hamba Miao Shan bersama dengan para biksuni di biara ini, dengan penuh hormat mengantar kereta istana Yang Mulia, semoga Yang Mulia Raja panjang umurnya!”
Raja Miao Zhuang dan kedua putri, begitu mendengar perkataan seperti itu, dalam hati tak terelakkan merasa tidak nyaman yang sangat dalam, kata-kata tercekat dan terhenti di tenggorokan, hanya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, masing-masing naik ke kereta dan pergi. Setelah melihat mereka telah pergi jauh, Miao Shan barulah bangkit berdiri, memimpin para biksuni kembali ke dalam kuil tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di sisi lain para warga yang hadir, melihat acara akhbar ini sudah selesai, juga menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat disaksikan, maka langsung pergi membawa orang tua dan anak mereka, beserta pasangan masing-masing, dan suasana di sekitar kuil pun menjadi tenang kembali.
Sejak saat itu, Putri Miao Shan benar-benar telah menjadi seorang Maha Guru Miao Shan, dengan hati damai tinggal di kuil Jinguangming, dan tulus menjalani kultivasinya.
Waktu berlalu begitu cepatnya, dalam sekejap mata tiga tahun telah berlalu. Suatu hari, Maha Guru sedang duduk bermeditasi, saat akan memasuki kondisi Ding, tiba-tiba terdengar dua suara berbicara, “Bunga teratai jiwa sudah mekar atau belum?” Yang lain menjawab, “Sudah mekar, sudah mekar! Hanya kurang satu Bodhisattva.” Maha Guru diam-diam dalam hati berkata, “Tidak baik! Gangguan iblis dari luar apa ini, berani datang menyerang.” Dengan segera memfokuskan jiwa dan pikiran, membuang jauh-jauh segala hal, namun malah menemukan sehelai hati diri sendiri, berubah menjadi sehelai teratai putih yang setengah mekar, di atas bunga teratai duduk sesosok Fashen Bodhisattva, dengan mata setengah terpejam. Ketika diperhatikan lebih teliti, Bodhisattva itu, ternyata adalah wujud dari dirinya sendiri. Tak tahan ketika timbul kegirangan, pemandangan di depan mata ini, tiba-tiba sepenuhnya lenyap, dan dia kembali duduk tenang di tempat duduk meditasinya.
Maha Guru Miao Shan dengan jelas menyadari cerita di balik ujian ini, namun dia tidak mengungkapkannya kepada siapa pun, keesokan paginya, setelah doa pagi selesai, dia barulah berbicara kepada semua orang: “Saya sebelumnya mendapat petunjuk langsung dari Sang Buddha, Beliau pernah mengatakan, bahwa untuk mencapai pencerahan, harus mencari teratai salju di Gunung Sumeru sebagai petunjuk. Saya pikir, sejak saya memutuskan untuk meninggalkan duniawi, menutup pintu dan berkultivasi dalam penderitaan, sama sekali belum pernah pergi ke gunung-gunung terkenal, bagaimana mungkin saya bisa menemukan teratai salju? Oleh karena itu, saya telah memutuskan untuk pergi berkelana ke Gunung Sumeru, sambil sekalian mencari teratai putih. Kalian semua di sini berkultivasilah dengan baik, di kemudian hari pasti ada manfaat yang akan kalian dapatkan.”
Semua orang setelah mendengar itu, semua orang merasa ini sangat mendadak, mau tak mau mereka pun saling bertatapan. Namun pengasuh dan Yong Lian setelah mendengarnya, mendukung keputusan itu, bahkan keduanya bersedia untuk menemani perjalanan ke Gunung Sumeru.