Kisah

Franklin Roosevelt, Kisah Bangkit dari Penderitaan

Sejarah telah menunjukkan bahwa pahlawan sejati sering kali menghadapi cobaan yang berat. Pada usia 39 tahun, Franklin Delano Roosevelt terserang polio, penyakit yang membuatnya harus duduk di kursi roda seumur hidupnya. Namun, dalam menghadapi penyakit yang kejam ini, Roosevelt tidak menyerah. Sebaliknya, ia menghadapi tantangan itu dengan keberanian yang tak tergoyahkan, menaiki tangga politik selangkah demi selangkah untuk mencapai puncak kepemimpinan.

Setelah lulus dari Universitas Harvard, Roosevelt secara resmi memulai karier politiknya. Ia memenangkan kursi di Senat Negara Bagian New York pada tahun 1909. Roosevelt kemudian diangkat menjadi Asisten Sekretaris Angkatan Laut. Selama Perang Dunia I, ia melakukan perjalanan ke Eropa pada tahun 1918, menyaksikan sendiri dampak perang yang menghancurkan. Pengalaman-pengalaman ini membentuk kepeduliannya yang mendalam terhadap penderitaan rakyat biasa.

Pada bulan Agustus 1921, setelah berenang di perairan dingin Pulau Campobello, ia terjangkit penyakit polio. Penyakit ini membawa ujian yang menyiksa, yang tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Awalnya, Roosevelt berharap untuk pulih, tetapi kondisinya memburuk. Kakinya lumpuh total, lehernya kaku, dan bahkan kandung kemihnya kehilangan fungsi untuk sementara waktu. Penderitaan fisiknya tak tertahankan, tetapi siksaan emosionalnya bahkan lebih dalam. Dulunya seorang pemuda yang bersemangat dan menjanjikan, ia tiba-tiba mendapati dirinya terbaring di tempat tidur, bergantung pada orang lain bahkan untuk tugas-tugas yang paling sederhana. Di saat-saat tergelapnya, ia takut Tuhan telah meninggalkannya. Namun Roosevelt bukanlah orang biasa. Meskipun sangat menderita, ia tetap mempertahankan humor khasnya, bercanda dengan istrinya, Eleanor, untuk menjaga semangatnya. Ia menolak membebani orang-orang yang dicintainya dengan kesedihannya, melarang siapa pun memberi tahu ibunya tentang penyakitnya untuk menyelamatkannya dari kecemasan.

Ketika dokter memastikan diagnosis polio-nya, Eleanor hampir pingsan, tetapi Roosevelt menanggapinya dengan tidak lebih dari sekadar senyum kecut. “Saya menolak untuk percaya bahwa penyakit anak-anak dapat mengalahkan orang dewasa. Saya akan mengatasinya.” Ia tahu ini adalah kata-kata yang berani, tetapi mengucapkannya dengan lantang membantunya mempertahankan keberaniannya. Untuk menghindari perasaan putus asa, ia membenamkan dirinya dalam perenungan yang mendalam — menganalisis keberhasilan dan kesalahan masa lalu, mengingat kembali pertemuan dengan politisi, dan merenungkan perjuangan Eropa yang dilanda perang dan kesulitan yang dialami orang-orang miskin. Ia banyak membaca, mempelajari sejarah, politik, dan biografi pemimpin besar Amerika. Ia juga meneliti literatur medis, membahas pengobatan polio secara terperinci dengan para dokter hingga ia sendiri menjadi ahli dalam subjek tersebut.

Menghadapi Kesulitan dan Tidak Menyerah

Penderitaan memiliki kekuatan untuk membentuk atau menghancurkan seseorang. Kuncinya terletak pada bagaimana seseorang menghadapi kesulitan. Roosevelt memilih optimisme dan ketahanan. Meskipun tubuhnya lemah, semangatnya tetap gigih. Ia percaya bahwa begitu penyakitnya berlalu, ia akan kembali ke panggung politik dengan lebih bersemangat dari sebelumnya. Ketika ibunya bergegas ke samping tempat tidurnya, ia menyapa dan meyakinkannya dengan senyuman: “Ibu, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”

Bertekad untuk mendapatkan kembali mobilitasnya, ia menjalani terapi fisik yang menyakitkan. Kakinya dibalut plester agar tetap lurus, dan ia menjalani latihan yang menyiksa untuk meregangkan otot-ototnya. Meskipun kesakitan, ia tidak pernah goyah. Perlahan-lahan, tubuh bagian atasnya kembali kuat, dan ia belajar untuk duduk. Ia berlatih berjalan menggunakan sistem palang sejajar di halaman rumahnya, menetapkan tujuan-tujuan kecil seperti mencapai kantor pos, yang jaraknya seperempat mil. Setiap hari, ia memaksakan diri untuk berjalan sedikit lebih jauh.

Pada tahun 1922, dokter memasangkan penyangga kaki dari baja dan kulit, yang memungkinkannya berdiri dan berjalan jarak pendek dengan kruk. Meskipun penyangga itu berat, Roosevelt menerimanya sebagai alat kemenangan. Ia jatuh berkali-kali, tetapi kegigihannya yang tak tergoyahkan mendorongnya maju. Pada musim gugur tahun 1922, Roosevelt kembali bekerja di sebuah perusahaan, dari awalnya paruh waktu, secara bertahap menambah jam kerjanya hingga ia kembali ke jadwal penuh.

Kembalinya ia ke kehidupan publik menghidupkan kembali reputasinya, dan namanya sekali lagi bergema di kalangan politik. Ketahanannya dalam menghadapi penyakit tidak hanya menginspirasi kekaguman; tetapi juga mengundang rasa hormat yang mendalam. Pada Konvensi Nasional Demokrat tahun 1924 dan 1928, Roosevelt menyampaikan pidato untuk mendukung Al Smit kampanye presidensialnya. Dengan bantuan putranya, ia berjalan ke podium dengan kruk, dan mendapat tepuk tangan meriah. Saat ia menyerukan persatuan, seluruh hadirin berdiri. Ia menyerukan kebijaksanaan Abraham Lincoln: “Tanpa kebencian terhadap siapa pun, dengan belas kasihan untuk semua.” Kata-katanya sangat menyentuh hati para pendengarnya, yang memperkuat kembalinya ia ke dunia politik.

Menjadi Gubernur New York dan kemudian Presiden

Meskipun Smith kalah dalam pemilihan, Roosevelt diangkat menjadi jabatan gubernur New York. Kemudian, pada tahun 1932, ia meraih kemenangan pamungkas, memenangkan kursi kepresidenan Amerika Serikat. Ia menjabat selama empat periode berturut-turut, dari tahun 1933 hingga 1945, menjadi satu-satunya presiden AS yang menjabat lebih dari dua periode. Kemenangannya bukan hanya bersifat politis; itu adalah keberhasilan dari tekad yang tak tergoyahkan. Penderitaan adalah ujian, wadah transformasi. Penderitaan membuat Roosevelt lebih kuat — baik secara fisik maupun mental — dan menyempurnakan karakternya menjadi pemimpin yang benar-benar luar biasa.

Sahabat dekatnya, Frances Perkins, mengamati transformasi ini: “Selama tahun-tahun sakitnya, Roosevelt mengalami perubahan spiritual yang mendalam. Ketika ia kembali, penderitaan telah merenggut harga dirinya yang dulu. Ia menjadi lebih berbelas kasih, rendah hati, dan bijaksana dari sebelumnya. Setelah menanggung kesulitan yang sangat besar, ia menjadi lebih berempati terhadap orang lain yang menderita. Ia percaya bahwa Tuhan telah menyelamatkannya dari kelumpuhan total, keputusasaan, dan kematian.”

Pada tahun 2007, penulis biografi Roosevelt, Jean Edward Smith, dengan tepat merangkum warisannya: “Ia bangkit dari kursi rodanya dan, dengan melakukannya, membebaskan seluruh bangsa dari keputusasaannya.”

Kisah Franklin D. Roosevelt adalah bukti kekuatan iman, ketahanan, dan jiwa manusia. Perjalanannya mengajarkan kita bahwa bahkan di saat-saat tergelap sekalipun, kita dapat bangkit, mengatasi, dan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.