“Tujuan Terakhir dari Paham Komunis” (17)
2. Sekuat Tenaga Cuci Otak, Memutar-balik Baik dan Jahat
Partai komunis menyebut cuci otak sebagai “Reformasi Ideologi”. Reformasi Ideologi semacam ini harus disertai dengan cara paksa, agar manusia tidak bisa berinisiatif melarikan diri; di sisi lain juga menggunakan berbagai macam penyiksaan mental yang brutal, memaksa orang-orang agar menyerah. Bagi rezim kekuasaan PKT, berbagai macam metode cuci otak ini adalah agar manusia setuju menerima ‘Ateisme’ dan ‘Filosofi Pertarungan’ yang menjadi inti dari sistem nilai dan ideologis paham komunis, yang juga disebut-sebut sebagai “Pandangan Dunia Kaum Proletar [Proletarian World-Outlook]”, padahal esensinya adalah roh jahat sedang mendorong semua individu ke arah keruntuhan jiwa, secara sistematis merusak warisan turun-temurun orang Tiongkok, yaitu konsep nilai tradisional.
a. Memalsukan “Mandat Langit” dengan “Revolusi”
Orang Tiongkok secara tradisional menggunakan “Mandat Langit” untuk mengukur legitimasi dari sebuah kekuasaan. Ketika Kaisar kehilangan moralitas [De], tidak menghormati Langit & Leluhur, tidak lagi memimpin dengan moral [De], tidak memerintah dengan kasih, maka Mandat Langit akan berubah, dan terjadi pergantian Dinasti.
Diukur dengan pemikiran “Mandat Langit” ini, PKT justru sedang menentang Langit ——– karena tidak menghormati Langit & Leluhur, tidak memerintah dengan kasih, dan tidak sah kekuasaan politiknya. Bila PKT ingin merebut kekuasaan, ingin memamerkan legitimasi dari perebutan kekuasaannya, maka harus menghapus pemikiran tradisional dari dalam hati manusia, menanamkan ‘Ateisme’ dan ‘Filosofi Pertarungan’, agar teori Karl Marx yang tampak indah itu, yakni 5 tahap teori perkembangan masyarakat, berubah menjadi prinsip sejati, dan sejarah Tiongkok secara paksa terbungkus olehnya.
Dengan ini PKT mengklaim bahwa, membawa Tiongkok memasuki “tahap komunisme” dengan Pertarungan Kelas merupakan perkembangan sejarah yang tak terelakkan, untuk memamerkan legitimasi perebutan kekuasaan yang dilakukannya; pada saat yang sama, yang disebut-sebut “tahap komunisme” juga harus diangkat tinggi-tinggi sebagai hal yang “sakral” bagi manusia, untuk memamerkan diri sebagai “pilihan tak terelakkan” dalam perkembangan sejarah. Padahal esensinya adalah ingin menggantikan pemikiran “Mandat Langit” tradisional ini.
*According to historical materialism, each main epoch in the development of human society constitutes a specific mode of production, or socio-economic formation, of which five are now known; they are: Primitive Communism, Slavery, Feudalism, Capitalism and Socialism (that is, the lower stage of Communism). (Historical Materialism, https://www.marxists.org/history/erol/new-zealand/nunes-marx-mao/hist-mat.pdf)
b. Menetapkan Moralitas dengan Menganggap Kejahatan sebagai “Kebaikan”
Moralitas berasal dari Tuhan. Tuhan tidak akan berubah selamanya, standar moralitas juga tidak akan berubah selamanya. Standar moralitas selamanya tidak layak ditetapkan oleh manusia, juga tidak akan berubah menyesuaikan diri dengan kekuasaan manusia. Ketika PKT menetapkan moralitas, berarti sedang merebut posisi Tuhan; justru karena PKT menetapkan moralitas, maka segala perbuatan buruk yang dilakukan oleh PKT sendiri dapat dianggap sebagai “moralitas”, dengan demikian barulah berani mengklaim dirinya “Selamanya Benar”. Lagi pula standar moralitas yang ditetapkan oleh PKT boleh berubah setiap saat sesuai dengan keperluan partai.
Orang Tiongkok tradisional tak peduli memiliki kepercayaan agama yang jelas atau tidak, semuanya menganggap Nurani Manusia dan Hukum Langit sebagai nilai-nilai universal. Reformasi Ideologi PKT beranggapan yang harus dimusnahkan pertama kali justru adalah Nurani Manusia dan Hukum Langit, karena “Pandangan Dunia Kaum Proletar” tidak mengakui adanya nilai-nilai universal, tidak mengakui adanya moralitas yang melampaui kelas sosial. Partai komunis dalam menilai moralitas seseorang, adalah dengan menggunakan sudut pandang kelas sosial.
Orang Tiongkok tradisional beranggapan pejabat yang tidak korup adalah pejabat yang baik. Sedangkan menurut pandangan dunia partai komunis, pejabat dari “Kelas Reaksioner”, makin bersih dirinya maka akan makin melindungi “pemerintahan reaksioner”, dia akan makin membantu “Kelas Reaksioner” dalam membius “kaum buruh”, ini sebenarnya jauh lebih jahat. Contoh lain, orang Tiongkok beranggapan “Nyawa Manusia Sangat Berharga”, ketika melihat nyawa orang lain terancam bahaya, segera membantu tanpa ragu demi kebenaran. Sedangkan PKT sebaliknya beranggapan bahwa di depan “Humanitarianisme”, harus ditambah sebuah atribut “Revolusi”, hanya boleh memperlakukan “Kamerad” dengan baik, makin kejam terhadap “Kelas Reaksioner” makin membuktikan kejelasan pendirian kelas orang tersebut.
Dengan demikian, asalkan memasang papan nama “Revolusi”, “Progresif”, “Sosialisme” dan istilah lainnya, tak peduli betapa jahatnya, tak peduli betapa jauh menyimpang dari hati nurani manusia, semuanya dianggap “menyesuaikan diri” dengan arus sejarah, dan ini mutlak benar; sedangkan semua yang dilabeli “Feodal”, “kaum kapitalis”, “menyerang kaum proletar” dan istilah lainnya, baik dalam tindakan maupun pemikiran, tak peduli betapa mulianya pemikiran tradisional itu, juga akan secara otomatis dianggap salah, dicap “Reaksioner”.
Dengan demikian telah sepenuhnya memutar-balikkan standar Baik dan Jahat. Pada periode sejarah yang berbeda, terdapat label-label yang berbeda, misal ada kalanya dicap “menyerang pemimpin partai”, “menumbangkan kedaulatan negara”, “mempromosikan takhayul”, “Anti Ilmu Pengetahuan”, “memecah belah tanah air” dan lainnya, hanya demi memperoleh klaim bahwa “partai” adalah hasil pilihan sejarah yang “sakral”, sedangkan segala tantangan merupakan pihak yang harus dikritik dan ditumbangkan. Pandangan nilai semacam ini, merupakan inti dari apa yang disebut “Pandangan Dunia Kaum Proletar”.
Pandangan dunia semacam ini tentu saja tidak akan diterima oleh orang Tiongkok begitu saja. Lenin juga beranggapan, bahwa kaum proletar juga tidak sanggup secara spontan menghasilkan Pandangan Dunia Kaum Proletar dari Karl Marx, itu sebabnya, tidak saja kaum proletar harus “Diindoktrinasi”, tetapi juga harus menjalankan Reformasi Ideologi terhadap kaum kapitalis dan kelas sosial tuan tanah.
PKT telah meluncurkan banyak sekali gerakan politik, baik itu demi membunuh orang dan mendirikan kekuasaan, merusak kepercayaan dan kebudayaan; maupun demi pertarungan kekuasaan, menyingkirkan para pembangkang, namun semua perbuatan jahat itu berlabelkan “Revolusi” tanpa terkecuali, dan menggunakan “Pandangan Dunia Kaum Proletar” untuk mengukur target serangan ataupun pendekatannya.
Konsekuensi paling utama dari sejumlah gerakan ini, selain untuk membantai kehidupan, tepatnya adalah secara paksa melepas nilai-nilai tradisional yang sudah ada dalam hati manusia. Kemudian di bawah kerangka paham komunis dibangun kembali seperangkat sistem nilai yang anti moralitas. Karena realita keji yang dibangun PKT, orang-orang tersadarkan bahwa nilai-nilai tradisional sama sekali tidak harmonis dengan realita itu. Jika tidak melepasnya akan menemui halangan di mana-mana, mudah sekali dihantam musibah.
Walaupun bukan merupakan pihak yang diserang dan dikritik secara langsung, orang-orang harus juga berhati-hati dengan mengubur dalam-dalam konsep moralitas tradisional, tidak berani memikirkan maupun bersentuhan, takutnya tidak hati-hati dalam perkataan dan perbuatan akan menonjolkannya keluar. Konsep moralitas, “Nurani Manusia dan Hukum Langit”, adalah digunakan untuk menuntun perilaku, merupakan kriteria pengukur perilaku yang diwariskan Tuhan kepada manusia. Namun sistem nilai yang tersembunyi mendalam di balik otak ini sudah kehilangan fungsinya, meskipun belum sepenuhnya lenyap, kenyataannya seperti sudah mati saja. Fakta ini juga memperlihatkan bahwa tujuan roh jahat dalam memusnahkan manusia telah tercapai.
c. Membunuh Tanpa Bercak Darah dengan Reformasi Ideologi
Pada era 1950an, PKT meluncurkan serangkaian gerakan yang disebut “Reformasi Ideologi”: seperti gerakan mengkritik “Kisah Hidup Wu Xun [Life of Wu Xun]”, gerakan reformasi pemikiran, mengkritik Liang Shuming, mengkritik Yu Pingbo dan Hu Shih, “Anti Hu Feng”, “Anti Kanan” dan lainnya.
Dari Gerakan Perbaikan Yan’an sebelum era 50an, hingga Revolusi Kebudayaan sesudah era 50an, semuanya juga termasuk Reformasi Ideologi berskala besar, hanya saja Perbaikan Yan’an dan Revolusi Kebudayaan disertai pembantaian tubuh fisik. Era 1950an jalan beriringan dengan sejumlah gerakan ideologi seperti gerakan berdarah “Reformasi Lahan”, “Tiga Anti”, “Lima Anti”, “Menindas Kontrarevolusioner” dan lainnya. Jika dipandang tidak bersikap jujur ataupun menentang Reformasi Ideologi, maka konsekuensinya juga sama sulit dibayangkan.
Reformasi Ideologi partai komunis Tiongkok pastinya diikuti dengan kekerasan dan paksaan, menggunakan kekerasan adalah demi menciptakan Ketakutan Psikologis, cara-cara paksaan adalah untuk mencegah korban kabur dari lingkungan “Reformasi”. Ketika kita menoleh kembali melihat para jiwa yang dulunya memegang prinsip tak goyah itu, sedang merontah dalam setiap gerakan PKT, hingga pada akhirnya harus tunduk atau pun digantung mati, ada satu hal yang dapat dipastikan, mereka walau tidak mengalami langsung kekerasan pada tubuh fisik, namun di dalam proses ini kerusakan mental yang dialami juga sama sekali tidak kalah dari pukulan dan tendangan.
Orang yang pernah mengalami sendiri “Revolusi Universitas” yang digunakan oleh partai komunis Tiongkok untuk cuci-otak, menyimpulkan: “Reformasi Ideologi dari partai komunis Tiongkok berarti pertarungan dengan kekerasan atau perubahan kimiawi” “Di dalam kelompok kami ada seorang teman berkata: ‘Metode menggali akar pemikiran semacam ini persis seperti menggunakan kait besi untuk mengait lubang ular, mengait hingga tubuh hancur tercabik-cabik’.”
Menurut catatan penulis Shen Congwen, “Semua pelajar dipaksa berpikir keras hingga menderita imsonia, bahkan banyak yang menangis karena penderitaan pahit.” Ahli matematika, Hua Luogeng, kesulitan membela diri saat Penghakiman Publik [Struggle Session], akhirnya memilih jalan bunuh diri, untungnya dapat cepat ditemukan, sehingga nyawanya dapat terselamatkan.
d. Tatanan Manusia Hancur Berantakan, Seluruh Populasi dalam Bencana
Selama periode Revolusi Kebudayaan, pembantaian dengan kekerasan yang demikian tragis, di masa damai malah menghasilkan tumpukan mayat jutaan manusia, darah mengalir sepanjang jalan. Namun jiwa yang dibantai secara tidak langsung selama Revolusi Kebudayaan jauh lebih banyak. Bencana yang demikian besar, bahkan melampaui pembantaian besar-besaran yang dilakukan Stalin.
Karakteristik Revolusi Kebudayaan adalah seluruh populasi ikut berpartisipasi, setiap orang menghakimi ataupun dihakimi.
Stalin selama pembantaian di eks-Uni Soviet, orang-orang dibunuh atau dikirim ke kamp konsentrasi Gulag untuk kerja paksa & disiksa hingga mati, sama sekali tidak terobsesi dengan pengrusakan ideologi; sedangkan PKT saat Revolusi Kebudayaan, metode pembunuhannya sangat brutal, jauh lebih buruk dibanding Stalin, skala korban jauh lebih ekstrem: “Meskipun setiap kalinya pihak yang menjadi sasaran penghakiman adalah sekelompok orang, namun yang sungguh-sungguh menjadi korban sebenarnya adalah rakyat seluruh populasi.” Yang ikut serta dalam Penghakiman Publik dan penyiksaan, sama sekali bukan polisi rahasia ataupun algojo, namun mereka tak lain adalah para kolega, teman sekolah, adik kelas, anak didik, teman, tetangga dari sang korban. Jika tidak ikut serta maka artinya “bersimpati pada musuh kelas”, dianggap berpendirian tidak stabil, dan segera akan menghadapi nasib yang sama.
Berbagai macam hinaan, siksaan, pembantaian ini, sama sekali bukan terjadi dalam kamp konsentrasi Gulag yang terisolasi dari masyarakat, namun tragedi ini bisa terjadi kapan saja di lingkungan sehari-hari yang akrab dengan orang-orang ——– seperti di kampus, di dalam kelas, di pabrik, komite tetangga, “Kandang Sapi [tempat tahanan kaum intelektual]” dan di berbagai unit kerja yang didirikan sendiri ……antar kolega, antar tetangga, antar teman kelas, guru dan murid, teman dan kerabat. Bahkan di antara kakak & adik, suami & istri, ayah & putra, saling mengungkap saling menghakimi sudah menjadi hal yang wajar. Setiap orang berebut penilaian politik yang positif, jika tidak maka akan ada kecurigaan tentang pendirian yang tidak jelas. Semakin habis-habisan menyerang orang terdekat, semakin mengindikasikan “pendirian yang kokoh”.
Desember 1966, sekretaris Mao Zedong, Hu Qiaomu, diseret ke Institut Besi dan Baja Beijing untuk dihakimi. Hari itu, putri Hu Qiaomu naik ke panggung berpidato untuk menghakimi ayahnya, dan meneriakkan “Hancurkan kepala anjing Hu Qiaomu!” Meskipun putri Hu tidak sampai sungguhan menghancurkan “kepala anjing” ayahnya, namun ada seorang murid sekolah menengah yang sungguhan telah menghancurkan kepala ayahnya sendiri. Kala itu di distrik Dongsi, ada satu keluarga “Kapitalis”. “Pengawal Merah” telah memukul pasangan tua itu sampai sekarat, juga memaksa putranya ikut memukul, putranya yang masih di sekolah menengah dengan dumbel telah menghancurkan kepala ayahnya sendiri, dirinya juga akhirnya menjadi gila. (menurut buku “Keluarga Saya: Yu Luoke Abang Saya”)
Gerakan yang diikuti seluruh populasi dan setiap orang saling menghakimi ini, membuat etika moral keluarga yang menjadi fondasi sistem nilai masyarakat Tiongkok tradisional, tersapu bersih dari lubuk hati orang Tiongkok, sehingga nilai-nilai masyarakat tradisional sepenuhnya hancur lebur.
Saling Mengungkap dan Mengkritik ini telah membentuk semacam fenomena kebudayaan yang sudah lumrah di masyarakat. Dengan berbagai macam cara radikal, orang-orang berlomba-lomba menunjukkan loyalitasnya kepada PKT. Semakin manusia sepakat dengan PKT dalam hal yang bertentangan dengan moralitas, dan bahkan menganggapnya sebagai “moralitas”, maka artinya masyarakat ini semakin terseret oleh arus. Karenanya, ini bukan hanya nilai-nilai Kebudayaan Tradisional saja yang telah menyimpang, tapi di dalam masyarakat juga telah terbentuk sebuah medan “Kebudayaan Partai”.
Jika saja dalam gerakan politik menindas tuan tanah, kaum Kanan, “Kontrarevolusioner” atau pun penganiayaan Falun Gong yang terjadi hari ini, orang-orang dapat melampaui landasan moralitas ini dan bukannya mengingkari hati dan pendirian, “Mengungkap dan Mengkritik” kepada orang asing yang sama sekali tidak dikenal, bahkan bersedia untuk “Mengungkap dan Mengkritik” kepada para kerabat dan teman; jika saja orang-orang di hari ini dapat menggunakan dalih “tidak ikut serta dalam politik” sebagai alasan dan dengan “kesadaran jernih” mencibir pembantaian dan penyiksaan terhadap sesama bangsa, maka dengan mental perlindungan pribadi yang sama, orang-orang juga akan “secara alami” mengelilingi dan mengawasi tindak kejahatan dari orang jahat dan bukannya bersikap acuh tak acuh; namun orang-orang di dalam perang dagang juga bisa saja saling menipu, menjilat kepada orang berpengaruh & mencari koneksi, bahkan demi “Kekayaan di depan mata” tidak ragu “menggelapkan”, memproduksi, menyalurkan berbagai macam produk palsu, bahkan termasuk arak beracun, beras beracun, susu beracun …… (Bersambung)
Untuk membaca bagian lain, silahkan klik di sini.
Tonton di Youtube, silahkan klik di sini.