Tujuan Terakhir dari Paham Komunis

Tujuan Terakhir dari Paham Komunis (18): “Restorasi Tradisional”: Cuci Otak Secara Fleksibel

“Tujuan Terakhir dari Paham Komunis” (18)

Bab 4. Roh Jahat Komunis Tanpa Letih Menghancurkan Manusia (Akhir)

3. “Restorasi Tradisional”: Cuci Otak Secara Fleksibel

Kebudayaan yang diwarisi Tiongkok selama ribuan tahun, tidak lama setelah PKT merebut kekuasaan, mengalami kerusakkan yang sangat destruktif. Namun ternyata dunia memang kecil, PKT sekarang juga ikutan menyerukan restorasi Kebudayaan Tradisional. Jika diteliti penyebabnya, tidak lepas dari beberapa hal berikut ini.

1. Ideologi Marxisme sudah tidak berdaya, di komunitas internasional tidak ada lagi nilai-nilai yang layak ditampilkan. Ketika Presiden Amerika mengunjungi Tiongkok, dengan senang hati memilih sebuah Universitas terkenal Tiongkok untuk berceramah, berbagi dengan muda-mudi Tiongkok, tentang nilai-nilai universal Amerika. Sebaliknya para pemimpin PKT, mereka begitu memasuki Amerika, langsung menjadi anggota partai bawah tanah, selamanya tidak berani pergi ke Universitas Amerika untuk mempromosikan kepada kerumunan mahasiswa tentang “Komunisme”, “Agama adalah Candu [Religion is the opium of the people]”, “Ateisme” dan hal lain yang dianggap sebagai “Kebudayaan Maju”.

2. Timbul dari kebutuhan melindungi kekuasaan politik. Beberapa generasi yang tumbuh dengan minum susu serigala Pertarungan Kelas, bagi partai itu sendiri sudah menjadi ancaman, oleh karena itu PKT berharap dari dalam Kebudayaan Tradisional, dapat mengutip sesuka hati istilah seperti “Damai itu Mahal [Lunyu Konfusius]” untuk dijadikan solusi krisis.

3. Kebudayaan Tradisional telah mengendap di dalam sumsum orang Tiongkok, sehingga timbul tuntutan dari kalangan rakyat untuk mencari akar kebudayaan.

Justru karena faktor-faktor inilah, PKT mau tidak mau sebelum kematian melintas di depannya, terpaksa mencari nutrisi penyambung hidup dari dalam Kebudayaan Tradisional. Tak peduli bagaimana motivasi PKT, energi positif raksasa dari Kebudayaan Tradisional Tiongkok tetap dapat terlihat dengan jelas.

a. Belum Ada “Operasi Menentang” Penganiayaan, Tapi Membual tentang “Restorasi”

Jika ingin membahas ‘Restorasi Tradisional’, maka harus terlebih dulu, sesuai pengrusakkan di masa lalu, dilakukan sebuah Operasi Menentang secara menyeluruh, terhadap berbagai macam tindakan tidak pantas kala itu, harus dilakukan instropeksi, penyelesaian, dan penyingkiran, barulah dapat membahas restorasi yang sesungguhnya. Setelah Mantera Pengikat yang menutupi kepala para sarjana, yakni “Ateisme” dari Marxisme ini dihancurkan, barulah dapat berdiri di atas garis start Restorasi Tradisional. Kebudayaan Tradisional Tiongkok adalah diciptakan oleh Tuhan, ia merupakan kebudayaan semi-Dewa, dan berisikan nilai-nilai universal. Jika mendekap “Ateisme”, bagaimana bisa berjalan beriringan dengan Kebudayaan Tradisional yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan?

Hasilnya, kita bisa melihat para sarjana bayaran berusaha membuktikan bahwa Konfusius, Laozi, bahkan Sakyamuni sebagai penganut Ateisme. Isi “Lunyu [Analek]” Konfusius ditafsir menjadi ‘semua harus menjadi budak bahagia di bawah pemerintahan PKT’. Filosofi orang suci dihubung-hubungkan dengan semangat Kongres Nasional PKT. Menghina dan mengolok-olok orang bijak zaman kuno, telah menjadi tren baru di internet …… jika dikatakan Restorasi Tradisional berasal dari usaha keras dan niat tulus rakyat, maka di bawah pengawasan PKT, semua usaha keras ini telah berubah menjadi alat penghasil catatan kaki untuk partai.

Misalnya, ‘menyelamatkan manusia’ yang dibicarakan dalam agama, sebenarnya memiliki makna khusus. Biksu sendiri juga memiliki misi selaku seorang biksu. Presiden Asosiasi dari sebuah agama di Tiongkok, selesai mempelajari semangat Kongres Nasional ke-19, menerbitkan sebuah artikel pemahaman hasil belajar, mengupas “Apa yang disebut ‘menyelamatkan manusia’ tepatnya adalah membantu para pengikut yang memiliki kesusahan, melindungi hak-hak hukum mereka, membantu mereka menyelesaikan kesulitan, kebingungan, dan persoalan praktis di dalam produksi, pekerjaan, dan kehidupan”. Kedengarannya seolah-olah agama adalah sebuah serikat buruh paruh waktu di bawah kepemimpinan PKT, sama sekali tidak ada kemampuan spiritual dan taraf kondisi seorang biksu.

Di satu sisi membahas Restorasi Tradisional, di sisi lain masih terus melebarkan sayap partai, menyusup ke dalam kuil, biara Tao, serta sekolah-sekolah agama; masih terus menekankan bahwa harus memperkuat peran Marxisme dalam membimbing Kebudayaan Tradisional. Jika Marxisme begitu luar biasa sampai bisa membimbing Kebudayaan Tradisional, maka Restorasi Kebudayaan Tradisional bukankah malah menjadi sia-sia?

b. Restorasi Kebudayaan Konfusius ala PKT: Bagai Ikan yang Mati karena Meninggalkan Air

Kaisar Kuning Xuan Yuan yang dihormati sebagai “Leluhur Pertama Ilmu Manusia” adalah seorang kultivator aliran Tao 5 ribu tahun yang lalu. Fondasi filosofi Kebudayaan Tiongkok paling awal adalah kebudayaan aliran Tao, kebudayaan aliran Tao dapat dikatakan sebagai sumber kebudayaan Tiongkok. Namun dibanding kebudayaan aliran Buddha dan Tao, yang menjadi favorit PKT tentu saja adalah kebudayaan Konfusius. Ajaran Konfusius dijadikan sebagai kebudayaan Ateisme untuk diexploitasi besar-besaran. Sebenarnya, kebudayaan Konfusius itu sendiri mungkin tidak menjadikan kepercayaan kepada Tuhan sebagai fokus utama, dan berkonsentrasi pada prinsip di dunia manusia. Namun, Kongzi adalah hidup di sebuah era yang percaya pada Tuhan, kebudayaan Konfusius di dalam lingkungan yang kental dengan sifat Ilahi ini, lahir dan berkembang pesat, ini sebabnya kepercayaan terhadap Tuhan merupakan prasyarat yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Kongzi menghabiskan seluruh hidupnya untuk merestorasi Zhouli [Rites of Zhou], karena menganggap Zhouli dapat menjadi teladan dari sebuah masyarakat ideal. Lantas, mengapa Zhouli dapat menjadi teladan dari masyarakat ideal? Setelah menggali akar permasalahan dengan serangkaian pertanyaan mengapa, ujung-ujungnya kembali lagi ke persoalan kepercayaan, yaitu kepercayaan terhadap Tuhan dan Langit.

Alasan di balik restorasi Zhouli oleh Kongzi adalah sistem kepercayaan agama dari rakyat Dinasti Zhou. Kaisar Langit memberi mandat kepada Putra Langit (Raja di dunia manusia), Putra Langit mewakili Langit mengembala rakyat, memberi persembahan, memimpin negara, merekrut tentara dan mengelola pertanian. Setelah Kongzi, filsuf terkenal Dinasti Han, Dong Zhongshu, dalam “Tiga Kebijakan Langit-Manusia” yang ditujukan pada Kaisar Wu, mengemukakan ‘3 Panutan & 5 Nilai Hidup’ yang sangat terkenal itu, mengindentifikasi dengan jelas mengapa Kaisar harus menuruti pemikiran Konfusius “memerintah dengan kasih”. Fondasi dari teori dia adalah kebudayaan “hidup berasimilasi dengan Langit” dan “Interaksi antara Langit dan Manusia”. Segala prinsip Konfusius pada akhirnya adalah mencari pembuktian di dalam kepercayaan agama dan kebudayaan yang kental dengan sifat Ilahi ini.

*3 Panutan: Pemimpin panutan bawahan, ayah panutan anak, suami panutan istri; 5 Nilai Hidup: Ren – Yi – Li – Zhi – Xin]

“Langit” Ateisme adalah Langit yang seperti apa?

“Langit” yang dibahas Kongzi dan aliran Tao dalam “Interaksi antara Langit dan Manusia” dan budaya “hidup berasimilasi dengan Langit”, hanya ditafsirkan PKT sebagai langit dalam artian materi, yaitu cakrawala ataupun alam semesta. Konsep kultivasi dalam kebudayaan “hidup berasimilasi dengan Langit” ditafsirkan secara vulgar sebagai hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan alam, bahkan mengklaim bahwa ini sesuai dengan “Pandangan Perkembangan Ilmiah”. Ini adalah hasil perbuatan roh jahat komunis, dalam mendistorsi nilai-nilai inti dari Kebudayaan Warisan Dewa.

“Langit” dalam kebudayaan bangsa Tionghoa, adalah identik dengan “Tuan Langit [Lao Tian Ye]” yang biasa disebut-sebut di kalangan rakyat, orang zaman dulu sering menyebutnya Maha Kaisar Langit Raya, juga menjulukinya Maha Kaisar Surga Langit. “Langit” sebenarnya memiliki kehendak, kehendak ini disebut “Kehendak Langit”, sama sekali bukan cakrawala seperti yang dibicarakan dalam Materialisme.

“Mengapa harus membicarakan integritas?” “Menjadi orang baik itu basisnya apa?” Apakah partai komunis dapat menjawab persoalan-persoalan ini? Sama sekali tidak bisa. “Sistem Nilai Inti Sosialisme”, apakah orang-orang hanya karena ajaran dari “Sistem Nilai Inti” ini, dapat berubah dari jahat menjadi baik, menjadi jujur terpercaya? Bahkan mereka yang merumuskan apa yang disebut “Sistem Nilai” ini, juga tahu bahwa semua ini hanya khayalan bodoh belaka.

Mengesampingkan lingkup Ilahi yang melahirkan kebudayaan Konfusius untuk membahas pandangan moral Konfusius “Ren, Yi, Li, Zhi, Xin”, serta kebudayaan Zhong Yong Konfusius, sama seperti mengesampingkan air untuk membahas ikan, tidak ketemu jalan keluarnya.

c. Menyamar dengan Pakaian Kuno: Memfitnah Kebudayaan

Gaya literatur dan seni adalah alat yang tidak pernah dilepas oleh PKT dalam “Reformasi Ideologi”. Dalam tiga dekade terakhir, karya seni “Tema Propaganda” yang dinyanyikan dengan suara lantang masih menjadi strategi indoktrinasi yang jitu, namun karena Kebudayaan Partai sudah menapak seluruhnya dalam masyarakat, maka Kebudayaan Partai ini didandani menjadi kebudayaan rakyat Tiongkok. Residu yang terakumulasi dalam sejarah Tiongkok selama ribuan tahun, terutama bagian yang sesuai dengan Kebudayaan Partai, disuling lebih lanjut, digunakan untuk menyusupi seluruh rakyat bahkan hingga luar negeri, secara diam-diam mengikis kebudayaan moral tradisional. Setelah Revolusi Kebudayaan, inilah strategi roh jahat dalam merusak literatur dan seni ‘Kebudayaan Tiongkok’.

Beberapa tahun terakhir, drama ‘Pertarungan dalam Istana’ sangat populer, inti ceritanya tidak lebih hanyalah perseteruan di balik tirai, seperti saling cemburu, saling menipu, saling intrik-mengintrik, jurus “Bertarung” dan “Kebencian” roh jahat komunis telah dibubuhi dan dimainkan dengan sangat maksimal.

Karya-karya ini dari penciptaan sampai produksi, hingga menjadi populer, sama sekali tidak ada komentar ataupun arahan komite Partai, bahkan tidak memerlukan propaganda dari media partai, sepenuhnya berjalan sesuai hukum pasar. Alasan karya semacam ini bisa menjadi populer di masyarakat adalah, karena roh jahat telah selesai membangun lingkungan untuk orang Tiongkok, yang kehidupan sehari-harinya saling konflik dan saling curiga, juga membangun kebudayaan populer yang dibanjiri penyembahan kekuasaan, mengandalkan dukungan dari penguasa, mengejar ketenaran, dan kekayaan dalam semalam. Hasilnya, perubahan situasi dalam layar kaca seperti tipu daya politik, konspirasi licik, dipandang sebagai kemampuan bertahan hidup yang sangat wajar. Orang-orang dalam kehidupan nyata dapat menemukan kecocokan, tergugah simpatinya: Orang yang jurus politiknya hebat, dapat bertahan dan keluar sebagai pemenang dalam “kompetisi” kejam di tempat kerja dan masyarakat; walaupun orang baik, juga harus memiliki rencana buruk dan perhitungan yang lebih matang, dengan demikian barulah dapat menaklukkan orang jahat. Seorang netizen mengungkapkan, ada seorang koleganya setelah banyak menonton drama ‘Pertarungan Istana’ lalu mengekang pacarnya, mulai berkonsultasi dengan kolega yang telah menikah, bertanya bagaimana ‘Bertarung’ dengan calon mertua. Orang-orang menyembah strategi ‘Bertarung’ ini sebagai pemikiran “Bijaksana”. Serial yang pernah tren, “Legenda Zhen Huan [Empresses in the Palace]”, setelah populer di seluruh negeri, juga diikuti terbitnya sejumlah buku, yang merangkum pemikiran “Bijaksana” di dalamnya, untuk melayani kepuasan psikologis para penontonnya, seperti “36 Teknik Bertahan Hidup di Tempat Kerja yang Diajarkan Zhen Huan Kepada Saya”, “80 Hal yang Diajarkan oleh Selir Zhen Huan Kepada Saya”, dan lainnya.

Drama ‘Pertarungan Istana’ semacam ini tampil dengan “Pakaian Kuno”, yang diperlihatkan adalah cerita dan latar zaman dahulu, namun yang digunakan semuanya adalah pemikiran dan konsep orang modern; berpakaian kuno untuk memerankan orang kuno, namun realitanya adalah drama modern, berhasil merestorasi penampilan namun telah merusak isinya. Meskipun itu bukan kisah nyata sejarah, namun sama sekali tidak menghalangi orang-orang secara alami menganggap filosofi hitam kelam ini sebagai “Kebudayaan Tradisional”. Ini tepat merupakan hasil pengrusakkan PKT terhadap Kebudayaan Warisan Dewa, serta efek indoktrinasi dari Kebudayaan Partai selama beberapa dekade: agar manusia langsung beranggapan bahwa ‘Filosofi Pertarungan’ dalam Kebudayaan Partai tepatnya adalah Kebudayaan Tradisional Tiongkok.

d. Sumber Kekacauan: Para Pimpinan Partai

Setelah PKT menyatakan diri ingin terlibat dalam Kebudayaan Tradisional, hasrat terpendam dari rakyat untuk mencari akar kebudayaan segera meledak keluar tak terbendung. Sialnya adalah, meskipun ada orang yang tulus ingin merestorasi Kebudayaan, namun di bawah cengkraman kendali ideologi PKT, di bawah bimbingan Ateisme yang mengejar kepentingan pribadi, restorasi semacam ini jadi sulit untuk diidentifikasi, tumbuh menjalar tidak karuan, dalam arus menghina, mendiskredit, mengolok-olok kebudayaan yang kacau tak terkendali ini, secara diam-diam sekali lagi Kebudayaan Tradisional dibikin mandul. Secara permukaan PKT juga mengklaim ingin membereskan berbagai kekacauan ini, namun, sumber kekacauan di balik semua kekacauan ini justru adalah “Para pimpinan partai”.

Sebuah partai yang tidak percaya pada Tuhan, ditambah rakyatnya yang percaya “Segala Sesuatu Diukur Dengan Uang”, terus ditambah lagi era yang penuh dengan tempat ibadah komersil, jika digabung bersama akan terjadi reaksi kimia yang seperti apa?

“Ajaran Agama Menyiapkan Panggung, Ekonomi Bernyanyi Memainkan Peran.” Kuil-kuil telah menjadi sebuah “Kawasan Investasi” gaya baru, mengikat kontrak dengan kuil sudah jadi tren, tujuannya adalah demi memperoleh uang dan menipu. Di tempat wisata juga banyak bermunculan kuil palsu, biara palsu, biksu palsu, maha guru palsu, pendeta Tao palsu. Pemandu wisata, instruktur, biksu, pendeta Tao berkoordinasi dalam satu jalur untuk menipu turis seperti: uang dupa, uang peralatan doa, uang penghapus bencana dan lainnya, jenisnya banyak bukan main, muncul fenomena aneh kuil dan biara Tao secara kacau memperoleh “kekayaan dari kepercayaan”. Bisnis dari pengelolaan kuil, boleh dikatakan untungnya berlipat-lipat. Menurut laporan, di tangan seorang bos di Xi’an ada sekitar tujuh sampai delapan kuil, pendapatan tiap tahun mencapai puluhan juta yuan.

“Jika ada kurang Dewa mana tinggal dibikin saja.” “Kuil Nenek” di Hebei, kabupaten Yi, sangat populer. Katanya, di dalam kuil ini dapat ditemukan segala “Dewa” yang ingin disembah oleh orang-orang. Jika ingin promosi jabatan, di sini ada “Dewa jabatan”, jika ingin kekayaan, di sini ada “Dewa rejeki” yang seluruh badannya dipenuhi uang kertas, jika ingin lulus ujian, di sini ada “Dewa pendidikan” yang keriputnya sangat dalam. Jika ingin melindungi diri agar aman selama berkendara, di sini bahkan ada “Dewa kendaraan” yang sedang memegang setir mobil. Penanggung jawab ‘Kuil Nenek’ dengan pongah menyatakan, “Jika ada kurang Dewa mana, tinggal dibikin saja.”

Kepala biara telah menjadi CEO, kuil juga harus dibungkus agar sukses di pasaran, biara telah menjadi tempat potensial untuk meraup uang ……di negara lain di dunia, ada gereja yang berumur ribuan tahun, ada pasar saham yang berumur ratusan tahun, orang-orang tidak pernah memikirkan, gereja dan pasar saham, dua entitas ini bagaimana korelasinya. Di bawah kekuasaan PKT, di bawah pengaruh didikan Ateisme, Tiongkok boleh dibilang penuh dengan hal aneh-aneh. Namun walau banyak fenomena aneh, orang sudah tidak merasa heran lagi.

Ada orang beranggapan, PKT tidak menganiaya agama secara terbuka, oleh karena itu masih mencari jalan keluar di dalam agama. Ketika PKT memakai strategi keuntungan dan komersial untuk merusak agama, kelompok agama di bawah kendali PKT sudah berubah menjadi ‘pohon uang’ bagi PKT dan alat untuk menghantam para pembangkang, maka apa yang disebut dengan kepercayaan agama ini juga telah bermutasi menjadi kepercayaan Ateisme dan Materialisme milik roh jahat. Hasilnya kepercayaan telah kehilangan nilainya, pengikutnya sudah tidak ada tempat berlabuh, orang-orang telah terputus dengan jalan pulangnya. Saat ini, walau tidak menganiaya secara terbuka, juga telah berhasil tercapai tujuan memusnahkan manusia. Lantas PKT apakah masih perlu menganiaya agama secara terbuka? (Bersambung)

Untuk membaca bagian lain, silahkan klik di sini.

Tonton di Youtube, silahkan klik di sini.